4 Poin Penting tentang Kisruh Puluhan Pulau di Wilayah Indonesia

Sahrul

Konflik kepemilikan wilayah di Indonesia kembali menyeruak ke permukaan, kali ini menyasar gugusan pulau yang tersebar dari barat hingga timur Nusantara. Setelah kasus empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dinyatakan rampung, kini sorotan tertuju pada 43 pulau lain yang tengah disengketakan oleh berbagai wilayah administratif di Tanah Air.

43 Pulau Berstatus Sengketa

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengungkap bahwa terdapat 43 pulau di Indonesia yang saat ini berada dalam status sengketa kewilayahan. Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, ia menyebut bahwa kementeriannya tengah melakukan pendataan dan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk menyelesaikan konflik tersebut.

“Jadi ada 43 pulau di seluruh Indonesia yang saat ini tercatat dalam sengketa,” kata Bima di Jatinangor, Senin (23/6).

Dari keseluruhan sengketa, Jawa Timur menjadi provinsi yang paling banyak bersinggungan dengan persoalan batas wilayah pulau. Di samping itu, Kepulauan Riau juga turut menjadi titik panas karena menyangkut perbatasan antarprovinsi.

“Ada sengketa di dalam wilayah provinsi, ada sekitar 21. Paling banyak itu di Jawa Timur. Dan ada sengketa antar provinsi di Kepulauan Riau, ada sekitar 22,” sebut Bima.

Sengketa tersebut umumnya memiliki pola serupa dengan yang terjadi antara Aceh dan Sumatera Utara. Pihak yang mengklaim lebih dahulu biasanya telah mendaftarkan koordinat pulau secara resmi, sedangkan pihak lain belum sempat melakukan pendaftaran.

“Sengketa ini kemudian dilengkapi dengan bukti-bukti historis oleh masing-masing pihak,” ungkapnya.

“Jadi polanya agak mirip. Penyelesaiannya cenderung panjang, dan bagi yang belum tuntas, maka wilayah tersebut ditetapkan terlebih dahulu sebagai cakupan provinsi,” tambah dia.

Bangka Belitung vs Kepri: Pulau Tujuh Jadi Sengketa

Di wilayah Sumatera, polemik muncul antara Provinsi Bangka Belitung dan Kepulauan Riau mengenai klaim terhadap Pulau Tujuh dan Pulau Dua. Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 050/145/2022 dan Nomor 100.1.1.6117/2022, kedua pulau tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri.

Sebagai bentuk reaksi, Gubernur Babel, Hidayat Arsani, membentuk tim khusus (Timsus) guna memperjuangkan agar Pulau Tujuh dikembalikan ke wilayah Babel.

“Kita sudah melakukan rapat pembentukan Timsus Pulau Tujuh ini,” kata Staf Khusus Gubernur Kepulauan Babel Bidang Advokasi Hukum Aparatur Kemas Akhmad Tajuddin di Pangkalpinang.

Akhmad juga menjelaskan bahwa langkah-langkah hukum sedang disiapkan, termasuk permintaan revisi Kepmendagri dan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena terdapat kontradiksi antara dua undang-undang berbeda.

“Keputusan Mendagri ini bersamaan dengan revisi empat pulau di Aceh dan. Kita juga akan melakukan langkah hukum lainnya dengan mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas adanya konflik dua undang-undang yang saling bertentangan satu sama lain atau langkah-langkah hukum konstitusional lainnya,” jelas Akhmad.

Akhmad menyebutkan bahwa dasar hukum yang dimiliki Babel merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000. Di sana secara eksplisit disebutkan bahwa Pulau Tujuh atau gugusan Pulau Pekajang masuk wilayah Babel. Namun dalam UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lingga (Kepri), muncul nama Pulau Cybiayang yang setelah ditelusuri memiliki koordinat yang identik dengan Pulau Tujuh.

Kakabia: Pulau yang Dimiliki Sulsel, Dimanfaatkan Bersama Sultra

Di kawasan timur Indonesia, tepatnya antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, perebutan Pulau Kakabia (atau Kawi-kawia) telah berlangsung lebih dari satu dekade. Namun saat ini status pulau tersebut telah ditetapkan menjadi bagian Provinsi Sulawesi Selatan.

Kepala Bidang Tata Ruang Dinas SDA CKTR Sulsel, Andi Yurnita, mengatakan dasar legalitas yang menetapkan Pulau Kakabia ke dalam wilayah Sulsel didukung oleh Permendagri Nomor 45 Tahun 2011 dan Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022.

“Jadi, satu Permendagri, satu SK, ini semuanya mengesahkan bahwa Pulau Kakabia ini masuk wilayah Sulsel, dalam hal ini Kepulauan Selayar,” ujar Yurnita.

Kawasan tersebut juga telah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulsel tahun 2022 dan mendapatkan pengesahan dari lintas kementerian, termasuk ATR/BPN dan Kemendagri.

“Sudah fix, ya, sudah fix, (Pulau Kakabia) masuk Sulsel,” katanya.

Walau begitu, Pulau Kakabia tetap akan dikelola secara bersama antara dua provinsi dalam konteks konservasi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya perairan untuk perikanan serta pariwisata.

“Jadi, siapa pun yang akan menggunakan pulau itu, pemanfaatan ruangnya adalah konservasi,” kata Yurnita.

“Jadi, kita tidak menyerahkan (Pulau Kakabia), ya, ke Sultra. Kalau memang bisa dimanfaatkan secara bersama, fungsinya tetap sama, yaitu konservasi, saya pikir tidak ada masalah,” ucapnya.

16 Pulau Tak Berpenghuni Masuk Wilayah Jatim

Salah satu sengketa besar di pesisir selatan Jawa Timur antara Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung juga menemukan titik terang. Sebanyak 16 pulau tak berpenghuni di wilayah tersebut kini ditempatkan sementara di bawah cakupan administratif Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

“Pulau tersebut tidak berpenghuni,” kata Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir di Jakarta, Selasa (24/6).

“Untuk sementara, masuk cakupan administrasi wilayah Provinsi Jawa Timur. Sampai kita menyelesaikan rapat musyawarah mengenai penetapan administrasi pulau tersebut,” kata Tomsi.

Penetapan ini merupakan hasil keputusan rapat yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga daerah, termasuk Kemendagri, Pemprov Jatim, KKP, dan Kementerian ATR/BPN.

“Dari hasil rapat tersebut, kita menetapkan bahwa 16 pulau tersebut untuk sementara masuk dalam cakupan wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur, jadi tidak masuk Trenggalek, tidak juga masuk Tulungagung, masuk Provinsi Jawa Timur,” kata Tomsi Tohir.

Rapat lanjutan terkait status final administratif pulau-pulau ini akan dilakukan pada awal Juli 2025, melibatkan unsur pemerintah daerah dan pusat.

Kesimpulan:
Polemik batas wilayah di kawasan kepulauan Indonesia mencerminkan tantangan besar dalam urusan administratif dan geopolitik dalam negeri. Sengketa yang muncul tak hanya soal peta dan koordinat, tetapi juga menyangkut sejarah, hukum, dan fungsi strategis wilayah tersebut. Seiring waktu, penyelesaian setiap konflik memerlukan pendekatan menyeluruh, musyawarah yang inklusif, serta kepastian hukum yang mengikat.

Jika kamu membutuhkan versi artikel ini dalam format berita hard news atau soft feature, saya siap bantu ubah gayanya.

Also Read

Tags

Leave a Comment