Awal tahun 2025 menjadi masa yang berat bagi dunia kerja di Indonesia. Selama dua bulan pertama, tercatat lebih dari 18 ribu tenaga kerja kehilangan mata pencaharian akibat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kian meluas. Situasi ini mendorong legislator di parlemen mengusulkan penyusunan peta risiko industri sebagai langkah antisipatif.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan melalui situs Satu Data Kemnaker pada Minggu (6/4/2025), total ada 18.610 orang yang terdampak PHK hingga akhir Februari. Jumlah ini melonjak hampir lima kali lipat dibandingkan bulan Januari 2025 yang mencatat 3.325 pekerja ter-PHK. Dari angka tersebut, mayoritas korban PHK berasal dari provinsi Jawa Tengah.
Melihat situasi ini, Anggota Komisi IX DPR RI Zainul Munasichin menekankan perlunya pemerintah membentuk peta mitigasi industri. Dengan adanya peta tersebut, pemerintah bisa memetakan kondisi finansial tiap perusahaan—mulai dari yang tergolong sangat sehat, cukup sehat, hingga yang berada di ambang kritis.
“Saya sudah pernah mengusulkan kepada Kementerian Tenaga Kerja untuk membuat peta mitigasi kluster industri yang ada di tanah air kita,” ujar Zainul.
Peta ini akan berfungsi seperti barometer kesehatan industri nasional. Dari sini, lanjutnya, pemerintah bisa mengambil kebijakan penyangga, seperti insentif fiskal atau subsidi biaya operasional, terutama bagi perusahaan yang finansialnya melemah dan berpotensi melakukan PHK.
“Di tengah situasi ekonomi global yang sedang tidak menentu ini, yang sedang dinamis sekali ini, maka pendekatan pemerintah menurut saya tidak bisa lagi hanya satu perspektif, kerja tetap, nggak bisa lagi,” sambung Zainul.
Ia menjelaskan, pemerintah tidak bisa serta merta menahan langkah perusahaan untuk tidak melakukan PHK, terutama ketika tekanan ekonomi dari level global begitu besar. Menurut Zainul, pendekatan yang ideal adalah memastikan warga tetap bekerja, meski tak harus di tempat kerja yang sama.
“Pendekatan yang diambil oleh pemerintah mestinya adalah pendekatannya tetap kerja, bukan kerja tetap. Kalau kerja tetap itu kita memaksa perusahaan jangan sampai terjadi PHK. Nah itu tidak mungkin,” ujarnya.
“Tapi kalau pendekatan kita adalah tetap bekerja, maka mau dia terjadi PHK kapanpun oleh perusahaan manapun, pemerintah sudah menyiapkan skema bersamaan dengan sektor swasta bahwa Anda di-PHK hari ini, tapi 2-3 hari atau 1 bulan ke depan Anda sudah kerja lagi walaupun mungkin di perusahaan lain,” tutur Zainul.
Usulan ini menjadi sinyal kuat bahwa penanganan PHK tak bisa lagi bersifat reaktif. Pemerintah perlu lebih lincah, responsif, dan bersinergi dengan dunia usaha agar transisi pekerja dari satu sektor ke sektor lain dapat berlangsung cepat dan minim dampak sosial.