Gelombang kecerdasan buatan (AI) tengah menyapu dunia, dan Malaysia tak ingin tertinggal dalam arus besar ini. Negeri jiran tersebut kini menjelma sebagai poros baru pusat data (data center) di kawasan Asia Tenggara. Ini tak lepas dari derasnya investasi yang digelontorkan oleh perusahaan-perusahaan teknologi global, khususnya raksasa-raksasa asal Tiongkok, dalam membangun infrastruktur digital yang menjadi fondasi utama ekosistem AI.
Stabilitas hubungan bilateral antara Malaysia dan China menjadi salah satu kunci utama daya tarik tersebut. Ditambah lagi dengan harga listrik yang jauh lebih kompetitif dan ketersediaan akses terhadap semikonduktor canggih—komoditas yang semakin sulit dijangkau di Tiongkok akibat embargo ekspor dari Amerika Serikat.
“Perusahaan China adalah klien utama pusat data di Malaysia dan wilayah Asia Tenggara lain,” cetus Joe Gao dari IBuffett Investment Management.
Lompatan pertumbuhan fasilitas data center di Malaysia tak bisa dianggap remeh. Sejak 2021 hingga 2024, kapasitasnya hampir meroket dua kali lipat. Saat ini, terdapat 54 pusat data yang mampu menghasilkan total daya sebesar 504,9 megawatt. Bahkan, angka tersebut diproyeksi akan melesat lebih tinggi berkat ekspansi besar-besaran dari YTL Corporation, konglomerat lokal yang membangun kawasan khusus pusat data dengan kapasitas mencapai 605 megawatt.
“Kami tahu saat revolusi AI ini terjadi, pusat data akan benar-benar berkembang pesat. Malaysia berada dalam posisi beruntung karena punya energi, air, lahan, dan bakat manusia untuk memicu area pertumbuhan baru ini,” kata Yeoh Keong Hann, eksekutif senior YTL, kepada SCMP.
Di tengah pertarungan global memperebutkan supremasi digital, Malaysia berhasil menyalip Singapura sebagai destinasi utama pusat data di kawasan. Kebijakan pembatasan pembangunan pusat data yang diterapkan Singapura sejak 2019—karena kekhawatiran terhadap konsumsi lahan, air, dan energi—membuka celah yang langsung dimanfaatkan Malaysia. Perusahaan teknologi seperti Alibaba Cloud dan ByteDance pun segera memindahkan operasi pusat data mereka ke sana demi menopang aktivitas lintas negara.
Puluhan ribu entitas asal Tiongkok kini bergantung pada fasilitas data center di Malaysia. Mereka menggunakannya untuk menyimpan dan mengelola berbagai data dari platform sosial media, perdagangan daring, hingga sistem kecerdasan buatan. Biaya operasional yang lebih hemat—sekitar 30% dibandingkan dengan Singapura—membuat Malaysia kian dilirik sebagai “lahan subur” bagi ekspansi teknologi.
Tak hanya itu, Malaysia juga memiliki celah strategis dalam hal akses terhadap microchip yang dirancang oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Meski ada sejumlah kuota pembatasan, akses ini tetap sah dan memungkinkan perusahaan Tiongkok melanjutkan riset dan pengembangan dalam bidang AI, otomatisasi pabrik, serta perangkat-perangkat Internet of Things.
Namun, ketergantungan terhadap investasi dari Tiongkok bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia mempercepat pertumbuhan. Di sisi lain, ia menyimpan potensi gejolak geopolitik. Tekanan regulasi dari Washington bisa saja memaksa Malaysia membuka tabir kepemilikan data center atau bahkan membatasi dukungan daya komputasi bagi model-model AI asal Tiongkok. Di saat bersamaan, muncul juga kekhawatiran mengenai kapasitas Malaysia untuk terus menopang permintaan energi dan sumber daya bagi ekspansi ini dalam jangka panjang.
Sementara itu, Indonesia sejatinya tak tinggal diam. Negara ini tengah giat mengembangkan pusat data, terutama di Batam—wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Johor, Malaysia. Namun, sejak tiga tahun terakhir, Johor mulai unjuk gigi dan menjadi lawan tangguh dalam perebutan posisi sebagai hub digital Asia Tenggara. Hal ini dipicu oleh melonjaknya permintaan yang tak bisa lagi ditampung oleh Singapura yang nyaris “penuh sesak” sebagai pusat data kawasan.
“Kenapa Johor bisa naik secepat itu? Banyak sekali insentif yang diberikan mulai pajak gratis sampai pemerintahnya menurunkan harga listrik hanya untuk menarik pemain data center,” kata CEO NeutraDC, Andreuw Thonilus Albert pada tahun silam.
Strategi agresif ini berhasil menggoda banyak penyedia layanan server untuk mengalihkan operasinya ke Johor, menandai pergeseran tren yang perlu dicermati Indonesia.
“Ini yang harus kita cari sama-sama apa insentif yang mau kita berikan untuk Indonesia menjadi hub,” kata Andreuw.
Kini, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan iklim investasi yang tak kalah menarik. Jika tak segera meracik kebijakan dan insentif yang tepat, bukan tak mungkin pasar strategis ini akan semakin jauh dari jangkauan Indonesia.