Kelompok masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menggelar aksi damai di sekitar kompleks parlemen. Sebagai bentuk ekspresi, mereka sempat mendirikan sejumlah tenda protes di area belakang Gedung DPR/MPR/DPD RI. Namun, menurut kesaksian para peserta aksi, tenda-tenda tersebut tak bertahan lama karena dibubarkan oleh petugas penegak peraturan daerah, yakni Satpol PP.
Insiden tersebut dikatakan terjadi pada Rabu (9/4/2025) sore, sekitar pukul 16.00 hingga menjelang pukul 17.00 WIB. Ketika itu, suasana mulai lengang dan tak ada lagi jejak tenda protes yang biasa menghiasi area tersebut. Massa hanya tampak berkumpul di trotoar seberang pintu belakang gedung parlemen, seolah mencari tempat berlindung usai disapu gelombang pengusiran.
Dane (24), seorang warga sipil yang datang bergabung dengan massa, menceritakan pengalamannya saat tiba di lokasi.
“Aksi dari jam 7 (pagi), tapi aku datangnya agak telat. jam 16.00 datangnya. Masih, masih banyak (pas datang) mungkin 5 (tenda) ada,” kata Dane saat ditemui di depan gerbang pintu belakang DPR, Senayan, Jakarta Pusat.
Menurut Dane, Satpol PP-lah yang membongkar paksa fasilitas aksi, termasuk membawa pergi perlengkapan yang mereka siapkan untuk bermalam.
“Tadi pas aku mau join itu sudah ramai, udah dikepung sama Satpol buat disuruh tutup aksinya dan cara menutupnya mereka adalah dengan ambil tenda-tendanya,” ujarnya.
“Setahuku nggak dikembaliin karena tadi tendanya digusur Satpol bawa mobil, ‘langsung taruh mobil, taruh mobil’,” sambung Dane, menirukan aksi petugas.
Dane juga menyampaikan keprihatinannya terhadap proses pengesahan UU TNI yang menurutnya dilakukan secara terburu-buru. Ia khawatir pola serupa akan diterapkan dalam pembahasan rancangan undang-undang lainnya tanpa partisipasi publik yang memadai.
“Terus ada wacana baru pengin ngebahas RUU Polri dan RUU Polri takutnya nanti Keluang lagi apa yang dilakukan RUU TNI, nggak melibatkan warga sipil padahal polisi harusnya keamanan, TNI harusnya membela rakyat gitu,” ujar Dane.
“Tapi dalam prosesnya takutnya kembali nggak melibatkan rakyat, padahal UU itu kan harusnya bukan hanya substansi tapi segala prosedurnya yang harus kita pertimbangkan,” sambungnya.
Senada dengan Dane, Jack (25) yang turut mengikuti aksi tersebut, juga menyampaikan kekecewaannya. Ia menegaskan bahwa aksi yang mereka gelar berlangsung tanpa kekerasan, dan penuh sikap kooperatif.
“Sejak kemarin (pindah tenda ke trotoar) Satpol PP pagi bilang kita nggak masalah sama orangnya, tapi sama tendanya. Tapi, malam mereka bilang ‘Nggak, kalian nggak ada surat izin. Jadi selalu ada alasan aja,” kata Jack.
“Kita aksinya damai nggak ngapa-ngapain, kita juga koperatif kita tidak melakukan tindakan apa pun. Ya jadi aneh. ini udah sampai masih aja, setahu saya Satpol PP nggak bisa ambil perangkat aksi itu nggak boleh, kenapa Satpol PP yang turun?,” herannya.
Aksi protes yang dimaksudkan sebagai bentuk kritik terhadap perluasan wewenang militer justru berakhir dengan tindakan represif. Di tengah demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan menyampaikan pendapat, insiden ini seakan memperlihatkan kontras tajam antara semangat konstitusi dan kenyataan di lapangan.