Pada Senin, 28 April 2025, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa Rusia akan memberlakukan gencatan senjata selama tiga hari, yang dimulai pada 8 Mei hingga 10 Mei 2025. Langkah ini diambil untuk menghormati peringatan Hari Kemenangan atas Perang Dunia II, yang jatuh pada 9 Mei. Pengumuman tersebut disampaikan melalui Kremlin, yang menyatakan bahwa seluruh operasi militer Rusia akan dihentikan selama periode tersebut, dan berharap Ukraina akan mengikuti jejak Rusia.
“Pihak Rusia mengumumkan gencatan senjata selama peringatan 80 Tahun Kemenangan mulai tengah malam pada 7-8 Mei hingga tengah malam 10-11 Mei,” demikian pernyataan dari kantor kepresidenan Rusia. Selama tiga hari tersebut, seluruh aktivitas tempur yang melibatkan Rusia akan dihentikan, meskipun ada ancaman dari pihak Kremlin jika Ukraina melanggar ketentuan tersebut.
Namun, reaksi dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky justru menunjukkan kecurigaan mendalam. Zelensky menanggapi pengumuman tersebut dengan nada kritis, menyebutnya sebagai upaya manipulasi. “Sekarang ada upaya manipulasi baru: untuk beberapa alasan, semua orang harus menunggu hingga 8 Mei,” kata Zelensky dalam pidato hariannya pada Selasa (29/4/2025), merujuk pada keputusan Rusia yang dinilai lebih bernuansa politis daripada keinginan nyata untuk perdamaian.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Ukraina Andriy Sybiga juga menyuarakan kekecewaannya terhadap gencatan senjata tiga hari yang diumumkan oleh Rusia. Di platform X, Sybiga mengungkapkan kebingungannya mengapa Rusia harus menunggu hingga Mei untuk menghentikan tembakan. “Jika Rusia benar-benar menginginkan perdamaian, mereka harus segera menghentikan tembakan. Mengapa harus menunggu hingga 8 Mei?” tulisnya.
Tuduhan terhadap Rusia terkait manipulasi juga mengemuka ketika Ukraina menginginkan gencatan senjata yang lebih panjang, minimal 30 hari, untuk menciptakan ruang yang lebih besar bagi perdamaian yang berkelanjutan. Sebelumnya, Rusia menolak usulan Amerika Serikat yang menyerukan gencatan senjata penuh tanpa syarat selama 30 hari, yang telah diterima oleh pihak Ukraina.
Namun, meskipun Rusia mengklaim siap untuk bernegosiasi, terutama terkait dengan pengakuan atas aneksasi lima wilayah Ukraina termasuk Krimea, Ukraina menolak keras setiap bentuk pengakuan atas klaim tersebut. Mereka menganggap aneksasi itu sebagai pencaplokan ilegal yang tidak akan pernah diterima.
Sementara itu, Amerika Serikat, melalui Menteri Luar Negeri Marco Rubio, terus mendesak agar konflik ini segera diakhiri. Rubio menyampaikan kepada mitranya dari Rusia, Sergei Lavrov, bahwa Amerika Serikat berkomitmen untuk memfasilitasi penyelesaian perang yang dianggap “sudah tidak masuk akal.” Dalam pernyataannya pada hari Minggu, Rubio mengungkapkan harapan agar minggu ini menjadi titik balik penting dalam upaya untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung selama lebih dari setahun ini.
Pernyataan dari Amerika Serikat mencerminkan optimisme sekaligus keprihatinan yang mendalam. “Ada alasan untuk optimis, tetapi ada juga alasan untuk bersikap realistis,” ujar Rubio dalam wawancara dengan NBC News, menyiratkan ketidakpastian tentang apakah perundingan damai akan berhasil atau jika Amerika Serikat akan beralih fokus ke isu prioritas lainnya.
Sementara itu, bagi Rusia, pengumuman gencatan senjata ini dapat dipandang sebagai sebuah strategi untuk meredakan ketegangan internasional dan menunjukkan komitmennya terhadap perdamaian, meskipun dengan berbagai syarat yang sulit dipenuhi oleh Ukraina. Namun, bagi Zelensky dan banyak pihak di Ukraina, ini lebih terlihat sebagai taktik untuk memperoleh keuntungan politik, bukan langkah nyata menuju perdamaian yang sejati.
Gencatan senjata selama tiga hari ini ibarat sebuah oasis sementara di tengah padang pasir pertempuran yang tak berujung, namun apakah itu akan mengarah pada perdamaian yang hakiki atau sekadar sebuah ilusi yang memudar dengan cepat, hanya waktu yang akan membuktikannya.