Langkah Amerika Serikat (AS) dan China yang melibatkan ‘gencatan senjata’ dalam perang dagang membawa angin segar bagi perekonomian global yang selama ini diguncang ketidakpastian. Namun, meski situasi menunjukkan tanda-tanda mereda, bagi Indonesia, ada berbagai dampak positif yang akan muncul bersamaan dengan tantangan yang tetap mengintai di horizon ekonomi.
Ekonom Bhima Yudhistira, yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengungkapkan bahwa kesepakatan kedua negara besar ini diprediksi akan membawa angin segar bagi komoditas unggulan Indonesia, khususnya ekspor yang berorientasi pada pasar China. Kenaikan permintaan dari sektor industri di Negeri Tirai Bambu tersebut diperkirakan akan memberikan dorongan bagi harga komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.
“Kesepakatan ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, pelemahan rupiah yang terjadi beberapa waktu lalu akan cenderung tertahan, mengurangi dampak negatif dari inflasi impor yang semakin menekan daya beli,” kata Bhima.
Situasi ini juga menguntungkan bagi cadangan devisa Indonesia yang lebih stabil, dengan ruang yang lebih luas untuk intervensi terhadap fluktuasi rupiah tanpa harus menguras banyak dana. Harga emas yang selama ini menjadi pilihan investasi aman di tengah gejolak politik dan ekonomi juga mulai menunjukkan penurunan, seiring dengan meredanya ketegangan geopolitik.
Di sisi lain, Ibrahim Assuaibi, seorang pengamat pasar uang, mengamati bahwa ‘gencatan senjata’ ini turut meredakan ketegangan geopolitik dan turut berperan dalam penurunan harga emas. “Penurunan ketegangan ini berimbas pada melandainya harga emas, yang sebelumnya melonjak tajam akibat ketidakpastian global,” ujar Ibrahim.
Namun, meski ada sedikit ketenangan, Ibrahim memperingatkan bahwa pergerakan pasar tetap dalam kondisi ‘waspada’. Ketidakpastian masih membayangi pasar karena setelah periode ‘gencatan senjata’ 90 hari ini, potensi tarif impor tinggi akan kembali diterapkan, dengan Amerika mengenakan tarif 30% pada produk dari China dan China mengenakan 10% pada produk AS.
“Ketidakpastian ini akan tetap ada. Para pelaku pasar masih mengkhawatirkan dampak lanjutan setelah periode gencatan senjata berakhir. Persaingan dari produk China ke pasar AS akan memberikan tantangan baru bagi Indonesia,” kata Ibrahim.
Dalam hal ini, Bhima juga menambahkan peringatan serupa. Menurutnya, rendahnya tarif ekspor China ke AS akan merugikan daya saing ekspor Indonesia. Produk-produk seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi yang selama ini menjadi andalan Indonesia bisa tergeser oleh produk China yang lebih murah. Sementara Indonesia akan lebih diuntungkan dalam sektor bahan baku mentah dan barang setengah jadi.
“Jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, Indonesia akan terancam kehilangan pasar. Relokasi industri dari Indonesia ke China bisa terjadi, yang pada akhirnya akan menggerus daya saing Indonesia di pasar global,” ungkap Bhima.
Untuk itu, Bhima menekankan pentingnya peran pemerintah Indonesia dalam menghadapinya. Indonesia harus semakin aktif dalam melobi AS, memanfaatkan keuntungan yang diperoleh dari pembaruan IUPK Freeport dan kebijakan relaksasi ekspor bijih tembaga. Tidak hanya itu, isu Laut China Selatan juga perlu dijadikan bagian dari strategi negosiasi dengan AS, untuk menekan tarif impor yang lebih tinggi.
“Tarif yang lebih tinggi dari China tentu menjadi tantangan berat bagi Indonesia. Selain itu, negara-negara seperti China, Vietnam, dan Kamboja bisa mendominasi pasar Indonesia selama masa negosiasi ini, yang berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam sektor padat karya,” ujar Bhima.
Dengan berbagai dinamika yang masih berlangsung, Indonesia harus mewaspadai potensi ancaman dari barang impor yang bisa masuk secara masif ke pasar domestik. Persaingan ketat ini, jika tidak diantisipasi dengan langkah-langkah yang tepat, bisa membebani sektor industri dalam negeri dan memperburuk tingkat pengangguran.
Secara keseluruhan, meskipun gencatan senjata antara AS dan China memberikan sinyal positif bagi perekonomian dunia, tantangan besar masih menanti Indonesia untuk mempertahankan daya saing di pasar global yang semakin ketat. Pemerintah harus cermat dalam merumuskan kebijakan yang mendukung industri domestik dan memperkuat posisi Indonesia di tengah fluktuasi geopolitik yang terus berubah.