Kasus keracunan yang melibatkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mengguncang, kali ini di Kota Bogor. Dinas Kesehatan setempat telah menetapkan kejadian ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang memicu alarm serius bagi pelaksanaan program tersebut.
Insiden tersebut berpusat di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Sekolah Bosowa Bina Insani, yang menjadi salah satu pilot project Badan Gizi Nasional (BGN) dengan konsep kantin sekolah berfungsi sebagai dapur untuk MBG. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa musibah ini merupakan peringatan keras yang harus dijadikan pijakan untuk pembenahan dan pengembangan program MBG ke depan.
“Kita menetapkan beberapa langkah, yang pertama kita ingin lebih selektif di dalam pemilihan bahan baku,” ujar Dadan saat ditemui di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Rabu (14/5/2025).
Dadan mengibaratkan proses memasak sebagai sebuah perjalanan yang harus dilalui dalam waktu singkat agar makanan tetap segar dan sehat. Karenanya, BGN akan memotong durasi proses mulai dari persiapan hingga pengantaran makanan ke sekolah. “Kemudian kita akan memendekkan waktu processing antara penyiapan dan processing, termasuk menyiapkan untuk delivery, itu kita akan perpendek karena beberapa SPPG, karena yang baru-baru masih butuh waktu lama untuk memasak, kita akan persingkat waktunya,” jelasnya.
Selain mempercepat waktu produksi, BGN juga akan memperketat mekanisme pengiriman agar makanan tiba tepat waktu dan tidak teronggok terlalu lama menunggu konsumsi. “Karena ada kegiatan di sekolah, makannya agak terlambat, sehingga makanan itu terlalu lama disimpan. Sekarang kita perketat, kemudian mungkin juga kita, kan selama ini ada anak yang ingin bawa pulang ke rumah, nah ini mungkin kita sudah akan harus perketat supaya tidak terjadi, karena masakan ini kan ada batas waktunya untuk konsumsi,” terang Dadan.
Dadan menambahkan, pentingnya pembaruan dan pelatihan rutin bagi para pengelola SPPG. Ia menggunakan perumpamaan bahwa rutinitas yang sudah berjalan lama bisa menjadi “bantal empuk” yang membuat kewaspadaan menurun. Oleh sebab itu, pihaknya berencana menggelar pelatihan setiap 2-3 bulan guna menjaga kualitas dan meningkatkan ketelitian dalam pelayanan. “Supaya rutinitas itu tidak membiuskan mereka, kelancaran yang selama ini juga tidak membuat ‘meninabobokan’ mereka sehingga mereka selalu meningkatkan kualitas pelayanan dan tetap menjaga kualitasnya (makanan),” tegas Dadan.
Dalam hal pengadaan bahan baku, BGN menerapkan metode add-cont yang memungkinkan harga fluktuatif tidak mengorbankan mutu makanan yang disajikan.
Seiring dengan kejadian tersebut, operasional SPPG Bosowa Bina Insani dihentikan sementara waktu untuk dilakukan evaluasi mendalam dan inspeksi ketat. Pemerintah pun mengambil langkah cepat dengan menanggung biaya pengobatan para korban keracunan.
Dadan menjelaskan, kasus di Bogor ini memiliki karakter yang berbeda dari keracunan massal sebelumnya yang terjadi di beberapa daerah seperti Cianjur dan Tasikmalaya. “Reaksi keracunan di Bogor terbilang cukup lambat, di mana makanannya dikonsumsi Selasa, kemudian reaksinya baru diketahui Rabu,” ungkapnya. Bahkan, keluhan terus bertambah hingga Kamis dan Jumat hingga akhirnya Dinas Kesehatan Kota Bogor menetapkan status KLB.
Hasil laboratorium menyatakan bahwa kontaminasi Salmonella dan E.coli ditemukan pada air, bahan baku telur, dan sayuran yang digunakan. “Dari laporan saya bertanya juga dengan korbannya, bahwa tidak ada hal yang mencurigakan terkait dengan itu, karena waktu makan pun bisa dengan lahap mengkonsumsi tersebut,” tambah Dadan.
Kasus ini menjadi pengingat kuat bahwa menjaga ketat mutu dan keamanan pangan adalah fondasi utama dalam pelaksanaan program sosial bergengsi seperti MBG, agar tujuan mulia menyehatkan anak bangsa tidak justru berujung bencana kesehatan.