Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, mengungkapkan keheranannya atas keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa terhadap tiga terdakwa perkara korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) untuk penanganan COVID-19 di lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia. Menurutnya, vonis tersebut justru berpotensi mengurangi rasa takut para pelaku korupsi terhadap jerat hukum.
“Heran mengapa koruptor semakin ringan hukumannya, terbaru adalah korupsi APD COVID. Ini tidak akan menimbulkan efek jera,” ujar Yudi kepada awak media, Sabtu (7/6/2025).
Yudi menegaskan, hukuman yang terlampau lunak kepada koruptor justru akan memperbesar peluang orang untuk melakukan tindak kejahatan serupa. Ia berpendapat, fenomena semacam ini semestinya menjadi perhatian serius bagi Mahkamah Agung (MA), sebab putusan hakim dalam kasus korupsi seharusnya berpihak pada pemberantasan praktik merugikan negara.
“Malah akan semakin membuat orang berani untuk korupsi dan tentu ini seharusnya menjadi catatan bagi MA bahwa hakim-hakim tipikor justru tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi,” katanya.
Lebih lanjut, Yudi mengaku tak habis pikir melihat vonis ringan terhadap tiga terdakwa, padahal nilai kerugian negara yang ditimbulkan dari praktik korupsi APD COVID-19 sangat besar. Menurut dia, keputusan ini membuat perjalanan penegakan hukum ibarat berjalan dalam kabut pekat — semakin sulit melihat arah yang benar.
“Terlepas dari independensi hakim, namun logika vonis ringan sementara kerugian negara yang besar membuat pemberantasan korupsi semakin suram,” ungkapnya.
Ia pun berharap agar Komisi Yudisial (KY) segera turun tangan untuk meneliti maraknya vonis ringan dalam kasus-kasus korupsi yang belakangan muncul. Selain itu, Yudi meminta agar lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan memperkuat proses pembuktian di pengadilan sehingga tidak ada celah bagi pelaku kejahatan untuk lolos dari hukuman berat.
“Berharap KY pun mengevaluasi maraknya vonis ringan. Sementara penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan juga harus menyikapi fenomena ini baik bidang pencegahan maupun penindakan,” ujarnya.
“Jika ada vonis yang terlalu di luar nalar dan logika padahal penegak hukum dalam hal ini JPU mampu membuktikan kasus korupsi tersebut di persidangan dengan alat bukti yang kuat,” imbuh Yudi.
Rincian Vonis untuk Tiga Terdakwa
Tiga terdakwa dalam perkara dugaan korupsi pengadaan APD COVID-19 di Kemenkes masing-masing dijatuhi vonis pidana penjara antara 3 hingga 11,5 tahun. Ketiganya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Sidang pembacaan putusan berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (5/6). Ketiga terdakwa tersebut meliputi mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI) Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik.
Majelis hakim lebih dulu memutuskan perkara Budi Sylvana, yang dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sejumlah Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti Tambunan.
Dalam putusan tersebut, Budi dinyatakan melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara itu, Ahmad Taufik dijatuhi hukuman penjara selama 11 tahun, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 224,18 miliar, yang bila tidak dipenuhi akan diganti dengan pidana kurungan selama 4 tahun.
Sedangkan Satrio Wibowo dihukum penjara selama 11 tahun 6 bulan, denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 59,98 miliar, dengan konsekuensi tambahan pidana kurungan selama 3 tahun apabila tidak dibayar.
Hakim menyatakan bahwa baik Ahmad Taufik maupun Satrio Wibowo terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.