Militer Israel Akui Buka Tembakan ke Warga Gaza di Titik Bantuan

Sahrul

Pemerintah Israel melalui militer mereka akhirnya mengakui bahwa pasukan Israel (IDF) telah melepaskan tembakan yang melukai hingga menewaskan warga sipil Palestina yang tengah mengantre bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza. Insiden tragis ini kembali menyoroti kegagalan sistem distribusi bantuan di wilayah konflik yang kini kian membara.

Dalam pernyataan resminya yang dikutip Al Jazeera pada Senin (30/6), juru bicara IDF mengungkapkan bahwa insiden penembakan terhadap warga sipil tersebut tengah dalam proses evaluasi oleh otoritas terkait.

“Setelah insiden warga sipil yang tiba di fasilitas distribusi dilaporkan terluka, pemeriksaan menyeluruh dilakukan di Komando Selatan dan instruksi dikeluarkan untuk pasukan di lapangan setelah pelajaran yang dipetik,” kata militer Israel dalam pernyataan pada Senin (30/6).

Pernyataan ini menjadi semacam pengakuan resmi atas tindakan kekerasan yang telah lama dikecam berbagai pihak. Dalam rentang waktu sejak akhir Mei hingga akhir Juni 2025, hampir 600 warga Palestina telah kehilangan nyawa di berbagai lokasi penyaluran bantuan di Gaza akibat tembakan pasukan Israel.

Tentara Diperintah Menembak Meski Tak Ada Ancaman

Laporan investigatif dari harian Haaretz pada Jumat (27/6) membeberkan fakta mengejutkan: pasukan Israel disebut mendapatkan perintah untuk menembaki massa tak bersenjata di sekitar titik distribusi makanan, bahkan ketika tidak ada situasi berbahaya yang mengancam.

Sementara itu, sejak blokade distribusi bantuan ke Gaza dicabut pada 19 Mei 2025, yang sebelumnya berlangsung selama 11 minggu, angka korban terus meningkat. Berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 400 warga Palestina telah tewas ketika berusaha mendapatkan pasokan kebutuhan pokok.

Seorang pejabat senior PBB menyampaikan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil yang hanya ingin memperoleh makanan dari titik distribusi bantuan milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga yang mendapat dukungan langsung dari Amerika Serikat.

GHF diketahui mulai menyalurkan bantuan makanan sejak akhir Mei, memperkenalkan metode distribusi baru yang oleh sejumlah pihak dianggap tidak menjunjung asas keadilan dan netralitas. Banyak warga Gaza mengeluhkan bahwa mereka harus berjalan berkilo-kilometer sebelum fajar menyingsing demi mengantre bantuan, karena jalur distribusi sangat terbatas dan jauh dari permukiman.

PBB: Distribusi Bantuan Telah Dijadikan Perangkap

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres secara terbuka mengkritik sistem bantuan yang dikembangkan GHF. Dalam keterangannya pada Jumat (27/6), ia menegaskan bahwa pola distribusi saat ini justru menciptakan bahaya baru yang mengancam nyawa para pengungsi yang sudah kehabisan pilihan.

“Setiap operasi yang menyalurkan warga sipil yang putus asa ke zona militer pada dasarnya tidak aman. Itu membunuh orang,” kata Guterres kepada wartawan.

PBB menolak bekerja sama dengan GHF dalam operasi kemanusiaan ini. Mereka menilai bahwa mekanisme distribusi GHF justru cenderung menciptakan situasi militer baru, yang pada akhirnya memaksa warga sipil menjauh dari tempat tinggal mereka dan mendekat ke zona konflik.

Sebagai respons atas kritik tersebut, Kementerian Luar Negeri Israel menegaskan bahwa pihak militernya tidak pernah dengan sengaja membidik warga sipil. Mereka bahkan menuduh PBB sebagai pihak yang justru menghambat operasi kemanusiaan GHF.

“Dengan melakukan itu, PBB berpihak pada Hamas, yang juga mencoba menyabotase operasi kemanusiaan GHF,” tulisnya di X.

Sementara itu, juru bicara GHF menyangkal adanya korban jiwa di sekitar lokasi distribusi mereka. Namun, narasi berbeda datang dari warga Gaza dan laporan-laporan independen yang menyebutkan jatuhnya korban dalam jumlah besar di sekitar titik distribusi yang dijaga ketat oleh militer Israel.

Ribuan Warga Sipil Jadi Korban Sejak Oktober

Sejak 7 Oktober 2023, operasi militer skala besar yang dilakukan Israel telah menyebabkan kehancuran masif di wilayah Gaza. Menurut data dari otoritas kesehatan setempat, lebih dari 56.000 warga Palestina telah kehilangan nyawa, mayoritas dari mereka adalah warga sipil yang tidak terlibat konflik bersenjata.

Kawasan yang sebelumnya menjadi rumah bagi jutaan jiwa kini telah berubah menjadi lanskap reruntuhan. Di tengah kehancuran tersebut, harapan untuk sekadar mendapatkan sebungkus makanan pun harus dibayar mahal—dengan nyawa.

Also Read

Tags

Leave a Comment