Skema Bayar 10% Saat Klaim Asuransi Kesehatan Ditunda, Ini Penjelasannya

Sahrul

Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberlakukan skema co-payment dalam sistem asuransi kesehatan akhirnya dihentikan sementara. Kebijakan ini sebelumnya dirancang agar para pemegang polis asuransi kesehatan ikut menanggung sebagian biaya pengobatan dengan membayar 10% dari nilai klaim mereka.

Gagasan tersebut tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan dan semula akan diimplementasikan mulai 1 Januari 2026.

Di bawah skema ini, nasabah asuransi yang menjalani rawat jalan diwajibkan membayar maksimal Rp300.000 per klaim, sedangkan untuk rawat inap, batasnya mencapai Rp3 juta. Nilai ini masih dapat disesuaikan sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam polis masing-masing perusahaan asuransi.

Namun, setelah perdebatan panjang antara legislatif dan otoritas keuangan, keputusan akhirnya diambil: kebijakan ini belum akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Berikut poin-poin penting yang perlu diketahui:

1. Kebijakan Dibahas Serius di DPR

Komisi XI DPR RI mengundang petinggi OJK untuk membahas secara mendalam soal skema co-payment ini. Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, menyebutkan bahwa kebijakan ini telah menimbulkan kegelisahan publik, bahkan menjadi perbincangan luas di berbagai kanal media.

“Kita perlu mendengarkan penjelasan dari Otoritas Jasa Keuangan, karena ini sedang menjadi masalah yang ramai di media dan banyak pertanyaan tidak hanya disampaikan ke saya, tapi ditujukan hampir ke semua anggota Komisi XI,” kata Misbakhun dalam Raker di Senayan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Dalam rapat itu, Ogi Prastomiyono selaku Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut hanya akan berlaku bagi polis baru yang dimulai 1 Januari 2026. Sementara bagi peserta lama, aturan ini diberlakukan paling lambat hingga 31 Desember 2026.

“Jadi tidak otomatis itu diubah, tapi tetap karena perjanjian sudah dibuat dan berakhir ketentuan itu pada saat pertanggungan itu berakhir dengan catatan maksimum 31 Desember 2026,” ujar Ogi.

Ogi juga menegaskan bahwa kebijakan ini tidak berlaku bagi peserta BPJS Kesehatan, melainkan hanya untuk asuransi kesehatan komersial. Menurutnya, skema seperti ini telah diterapkan di beberapa negara untuk menurunkan premi agar lebih ramah di kantong.

“Kami sudah meminta untuk perusahaan asuransi melakukan simulasi bagaimana premi sebelum atau tanpa co-payment dengan setelah co-payment. Jadi secara analytical, itu untuk premi yang dengan co-payment itu lebih murah,” jelasnya.

2. Penundaan Resmi hingga POJK Terbit

Usai perdebatan panjang, Komisi XI DPR dan OJK sepakat bahwa pelaksanaan kebijakan co-payment harus ditunda hingga payung hukum dalam bentuk Peraturan OJK (POJK) resmi diberlakukan.

“Dalam rangka penyusunan POJK sebagaimana yang dimaksud dalam poin dua atau kesimpulan ini, OJK menunda pelaksanaan SE OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan sampai diberlakukannya POJK,” ungkap Misbakhun.

Hal ini berarti, OJK harus terlebih dahulu menyelesaikan regulasi resmi berbentuk POJK, bukan hanya mengandalkan surat edaran, untuk mengesahkan kebijakan tersebut. Misbakhun juga memastikan bahwa proses penyusunan aturan lanjutan ini akan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemangku kepentingan.

“Kami dapat menyepakati dengan pemahaman tadi,” ujar Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner OJK, merespons kesimpulan rapat tersebut.

3. DPR Kritik Keras Proses Penyusunan Awal OJK

Dalam forum rapat yang berlangsung intens tersebut, Misbakhun juga mengutarakan kekecewaan terkait minimnya pelibatan DPR dalam penyusunan SE OJK. Ia mengkritik keputusan OJK yang lebih memilih bekerja sama dengan pihak eksternal seperti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI tanpa konsultasi langsung dengan parlemen.

“Kita ini kan tidak pernah punya masalah dalam hubungan dengan OJK ini, kita terakhir banyak melakukan konsinyering, tapi Bapak tidak pernah menyampaikan ini ke kita. Tiba-tiba keluar yang seperti ini, bahwa proses penyusunan ini tentang penyelenggaraan dilaksanakan bersama lembaga ini,” ucap Misbakhun.

Ia juga menekankan bahwa mengingat pentingnya kebijakan ini bagi jutaan pemegang polis di Tanah Air, seharusnya OJK langsung menyusun Peraturan OJK (POJK), bukan hanya mengandalkan surat edaran sebagai dasar hukum.

Kesimpulan: Aturan Ditunda, Polemik Berlanjut

Penundaan kebijakan co-payment menjadi angin segar bagi sebagian besar masyarakat yang masih mempertanyakan urgensi dan keadilan kebijakan ini. Namun demikian, sorotan tajam terhadap transparansi dan partisipasi dalam proses perumusan kebijakan tetap menjadi pekerjaan rumah bagi OJK.

Sementara itu, langkah selanjutnya menanti penyusunan POJK yang ideal—yang tidak hanya mempertimbangkan sisi ekonomi industri asuransi, tapi juga memperhatikan beban finansial masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Also Read

Tags

Leave a Comment