Gelombang tekanan kembali menerpa sektor manufaktur domestik. Kebijakan pelonggaran impor yang sebelumnya diberlakukan pemerintah menuai konsekuensi yang cukup dalam: turunnya permintaan produk lokal, yang berujung pada potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif di sejumlah sektor industri.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, menjelaskan bahwa relaksasi tersebut menyebabkan banjirnya produk jadi dari luar negeri ke pasar domestik. Imbasnya, kapasitas produksi dalam negeri tidak terpakai optimal, alias utilisasinya merosot.
Situasi ini ibarat kapal industri yang mengangkut beban lebih dari seharusnya—membuat mesin berhenti berputar dan pekerja tak lagi dibutuhkan. Dampaknya sudah mulai terasa: beberapa sektor menunjukkan gejala serius menuju penutupan dan efisiensi tenaga kerja. Empat sektor yang berada di titik rawan tersebut antara lain industri alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi.
Melihat dinamika itu, Kemenperin menyambut baik langkah pemerintah yang mengoreksi arah kebijakan impor. Langkah deregulasi diambil dengan mengedepankan perlindungan terhadap pelaku usaha lokal, khususnya melalui pembatasan masuknya barang jadi di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), termasuk pakaian jadi serta aksesori fesyen yang semakin menjamur di pasar.
“Revisi Permendag ini mempertimbangkan data supply-demand sektor tekstil dan pakaian jadi. Dengan pembatasan impor secara selektif, maka pesanan produk dalam negeri akan meningkat. Karena itu, setelah kebijakan tersebut diterapkan, kami yakin dampaknya akan positif terhadap variabel pesanan dalam IKI, khususnya pada subsektor industri tekstil dan pakaian jadi,” ujar Febri dalam keterangan tertulis, Selasa (1/7/2025).
Febri menambahkan bahwa pada bulan Juni 2025, data menunjukkan penurunan jumlah pesanan yang signifikan untuk produk tekstil, pakaian jadi, dan aksesori. Ia menilai tren negatif ini tak lepas dari efek kebijakan impor yang sebelumnya terlalu longgar.
“Maka, revisi kebijakan ini diharapkan akan memulihkan permintaan dan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri,” sebut Febri.
Dalam laporan terkini dari Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dirilis Kemenperin, lima subsektor industri tercatat mengalami kontraksi. Kelimanya meliputi: Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki (KBLI 15), Industri Komputer, Elektronik dan Optik (KBLI 26), Industri Peralatan Listrik (KBLI 27), Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (KBLI 28), serta sektor Reparasi dan Pemasangan Mesin (KBLI 33).
Industri alas kaki menjadi salah satu yang paling terdampak, terutama akibat anjloknya permintaan ekspor. Nilai ekspor sektor ini menyusut dari US$ 809,14 juta pada Maret menjadi US$ 634,88 juta pada April—penurunan tajam hingga 21,54%. Bahkan pasar Amerika Serikat, sebagai salah satu tujuan utama, mencatat penurunan hampir setara, yakni 21,51%.
Secara umum, IKI Indonesia pada Juni 2025 masih berada di zona ekspansif dengan skor 51,84. Namun, angkanya turun dibanding bulan sebelumnya yang berada di level 52,11, serta lebih rendah dari capaian Juni tahun lalu sebesar 52,50. Ini menjadi indikator bahwa geliat industri domestik tengah mengalami tekanan, meskipun belum masuk ke fase kontraksi nasional.
Sementara itu, di sisi kebijakan, pemerintah melalui Menteri Perdagangan Budi Santoso telah mengambil langkah korektif dengan mencabut Permendag Nomor 8 Tahun 2024 dan menggantinya dengan Permendag Nomor 16 Tahun 2025. Regulasi terbaru ini menjadi landasan baru dalam tata kelola impor barang, termasuk yang menyangkut produk tekstil dan fesyen siap pakai.
“Kalau kita lihat Permendag 8 itu tekstil dan produk tekstil. Kemudian tekstil dan produk tekstil motif batik, barang tekstil sudah jadi lainnya itu selama ini dikenakan persetujuan impor dan pertimbangan teknis dari K/L dan laporan surveyor. Di Permendag yang baru, yang Permendag yang sekarang ini sama tetap dikenakan lartas,” kata Budi dalam konferensi pers bersama terkait Deregulasi Kebijakan Impor dan Deregulasi Kemudahan Berusaha di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Dengan regulasi baru yang tetap mempertahankan pembatasan impor (lartas) untuk beberapa komoditas strategis, pemerintah berharap bisa menstimulasi kembali permintaan terhadap produk lokal dan menghindari gelombang PHK yang lebih luas. Namun, dengan kondisi global yang masih bergejolak dan konsumsi masyarakat yang belum pulih sepenuhnya, sektor industri nasional masih harus berjalan di atas tali rapuh—menghindari terpeleset ke jurang krisis tenaga kerja.