BI Rate Sudah Turun, Tapi Suku Bunga Kredit Bank Tak Kunjung Ikut Turun

Sahrul

Meskipun suku bunga acuan nasional telah diturunkan, bunga pinjaman dari lembaga perbankan di Tanah Air masih tergolong tinggi. Kondisi ini seolah menjadi benang kusut yang menghambat percepatan penyaluran kredit ke masyarakat, dunia usaha, hingga sektor produktif lainnya.

Isu ini menjadi sorotan utama dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang digelar belum lama ini. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa meskipun langkah pelonggaran moneter telah dilakukan, realisasi penurunan suku bunga kredit berjalan lambat.

“Suku bunga kredit perbankan juga masih tinggi, yaitu 9,16% pada Juni 2025, tidak jauh berbeda dari 9,18% pada Mei 2025,” kata Perry.

Sebelumnya, BI telah memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) pada Mei 2025. Langkah ini merupakan bentuk pelonggaran kebijakan moneter yang bertujuan mempercepat pertumbuhan kredit sekaligus menstimulasi roda ekonomi.

Sebagai gambaran, suku bunga overnight antarbank atau INDONIA telah terkoreksi ke posisi 5,14% per 15 Juli 2025, turun dari 5,77% sebelum kebijakan penurunan BI Rate diberlakukan. Tidak hanya itu, instrumen operasi moneter lainnya seperti SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) juga mengalami penyusutan imbal hasil. Untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan, masing-masing turun ke 5,85%, 5,86%, dan 5,87% dari level sebelumnya yang berada di kisaran 6,40%-6,47%.

Instrumen obligasi negara juga menunjukkan tren pelonggaran. Yield atau hasil dari Surat Berharga Negara (SBN) tenor 2 tahun menyusut dari 6,13% menjadi 5,86%, dan tenor 10 tahun dari 6,71% menjadi 6,56%. Namun sayangnya, suku bunga simpanan berjangka satu bulan justru mengalami sedikit kenaikan, dari 4,81% di Mei menjadi 4,85% pada Juni 2025. Kenaikan ini bisa dimaknai sebagai manuver bank dalam memperkuat likuiditas melalui persaingan dana pihak ketiga.

Di tengah upaya BI mendorong pertumbuhan kredit, realisasi penyaluran pinjaman dari bank justru melambat. Per Juni 2025, kredit hanya tumbuh 7,77% secara tahunan (year-on-year), lebih rendah dibandingkan 8,43% pada bulan sebelumnya.

Menurut Perry, kehati-hatian bank menjadi penyebab utama, di mana mereka lebih selektif dalam menyaring calon debitur. Hal ini terjadi meskipun dana pihak ketiga (DPK) mengalami peningkatan hingga 6,96% (yoy) di bulan yang sama.

“Perkembangan ini mengakibatkan bank cenderung menempatkan pada surat-surat berharga dan meningkatkan standar penyaluran kredit (lending standard),” ungkapnya.

Artinya, alih-alih mengalirkan dana ke sektor produktif seperti pelaku UMKM atau konsumen, bank justru memilih jalur aman dengan menanamkan dananya pada instrumen keuangan yang minim risiko. Langkah ini ibarat memilih pelabuhan yang tenang di tengah badai ekonomi, tetapi justru menghambat pergerakan kapal dagang bernama kredit produktif.

Dilihat dari jenis penggunaannya, pertumbuhan kredit masih positif namun tidak merata. Kredit untuk investasi naik sebesar 12,53% (yoy), konsumsi tumbuh 8,49% (yoy), sedangkan kredit modal kerja hanya meningkat tipis sebesar 4,45% (yoy).

Ke depan, BI menekankan pentingnya koreksi lanjutan terhadap suku bunga kredit agar lebih selaras dengan penurunan BI Rate. Dengan kata lain, jika bunga kredit tak kunjung turun, kebijakan moneter BI bisa diibaratkan seperti menekan pedal gas di mobil, tapi remnya masih dipegang erat oleh sektor perbankan.

“Ke depan, Bank Indonesia memandang suku bunga kredit perbankan perlu terus menurun sehingga dapat mendorong peningkatan penyaluran kredit/pembiayaan guna mendukung pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.

Dengan dinamika seperti ini, pertanyaannya bukan lagi soal apakah BI sudah cukup proaktif dalam menciptakan ruang pertumbuhan, tetapi apakah perbankan siap untuk mengimbangi langkah itu demi membantu perekonomian melaju lebih cepat dan merata.

Also Read

Tags

Leave a Comment