Ketegangan kembali mencuat di wilayah selatan Suriah, khususnya di Provinsi Sweida, setelah konflik internal antara dua kelompok etnis—suku Druze dan Bedouin—mengundang intervensi militer dari luar. Pemerintah Suriah pun angkat suara untuk menanggapi kabar yang beredar soal pengiriman pasukan ke wilayah yang dilanda bentrokan tersebut.
Konflik horizontal antara komunitas lokal di Sweida telah berlangsung selama beberapa hari dan menimbulkan kekhawatiran regional. Ketegangan itu bahkan memicu keterlibatan Israel, yang melakukan serangan ke beberapa lokasi strategis di Suriah, termasuk dekat kompleks istana presiden di Damaskus.
Namun, melalui pernyataan resmi yang dikutip dari kantor berita negara dan dilansir Reuters, Jumat (18/7/2025), Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Suriah, Noureddin Al Baba, membantah kabar mengenai pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran ke Sweida.
“Pemerintah tidak bersiap untuk dikerahkan ke Provinsi Sweida,” kata Baba kepada kantor berita negara tersebut.
Sebelumnya, kekerasan yang terjadi antara kelompok Druze dan Bedouin sempat diredam melalui kesepakatan gencatan senjata yang dicapai setelah beberapa hari bentrokan. Kesepakatan ini sempat membuat pasukan Suriah mundur dari daerah tersebut sebagai bentuk de-eskalasi.
Namun, situasi kembali memanas pada Kamis malam. Adu kekuatan kembali pecah antara kedua kelompok bersenjata di wilayah itu. Ketidakstabilan tersebut langsung mengundang perhatian dari Israel, yang menganggap kehadiran militer Suriah di wilayah selatan sebagai ancaman, terlebih karena pemerintahan saat ini disebut-sebut dipimpin oleh kelompok Islamis.
Serangan udara Israel kemudian menghantam sejumlah target militer Suriah, termasuk markas Kementerian Pertahanan dan titik-titik strategis di Sweida. Dalam pernyataannya, Tel Aviv menyebut bahwa kepemimpinan baru Suriah di bawah kelompok Islamis menyamarkan niat ideologis mereka dengan tampilan moderat.
Israel, yang selama ini memiliki hubungan emosional dan historis dengan komunitas Druze, menyatakan bahwa serangan mereka dimaksudkan untuk melindungi kelompok minoritas itu di Suriah. Tekanan terhadap pemerintah Suriah juga datang dari warga Druze yang tinggal di Israel, yang menyerukan agar komunitas mereka di negara tetangga tak dibiarkan menjadi korban konflik bersenjata.
Sementara itu, Amerika Serikat mengambil sikap berbeda. Washington secara eksplisit tidak menyetujui langkah militer terbaru Israel dan menegaskan posisinya yang lebih condong ke arah penyelesaian diplomatik. Sebelumnya, AS bahkan terlibat dalam proses penyusunan kesepakatan gencatan senjata antara pihak pemerintah Suriah dan kelompok Druze.
Gedung Putih menyampaikan bahwa gencatan senjata tersebut sejauh ini masih bertahan dan diharapkan dapat menjadi pijakan menuju stabilitas jangka panjang.
Pemimpin Suriah, Ahmed Al Sharaa, menilai agresi Israel sebagai bentuk intervensi yang merusak kesatuan nasional Suriah. Ia juga menyampaikan tuduhan bahwa Tel Aviv tengah berusaha memecah belah rakyat Suriah melalui konflik sektarian yang diperuncing dari luar.
Al Sharaa, yang dalam beberapa waktu terakhir mencoba mempererat hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat, menegaskan bahwa pemerintahannya akan tetap berdiri untuk melindungi kaum minoritas Druze di wilayahnya.
“Pemerintah tidak bersiap untuk dikerahkan ke Provinsi Sweida,” ulang Baba, sebagai pernyataan resmi bahwa Suriah belum mengambil langkah militer baru meski situasi semakin kompleks.
Ketegangan ini mencerminkan betapa rapuhnya stabilitas di Timur Tengah, di mana percikan konflik lokal dapat menjalar cepat menjadi konfrontasi regional. Dalam situasi yang seperti bara api tertutup sekam, langkah kecil bisa menjadi pemantik besar bagi perang terbuka.