Tunjangan Fantastis Anggota DPR, Kontras dengan Rakyat yang Serba Sulit

Sahrul

Pendapatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan tajam publik setelah terungkap adanya tambahan tunjangan rumah senilai Rp50 juta setiap bulan. Jika digabungkan dengan gaji pokok dan fasilitas lainnya, total pemasukan resmi seorang legislator kini menembus lebih dari Rp100 juta per bulan.

Kondisi ini memicu gelombang kritik lantaran dianggap tidak pantas, terlebih saat masyarakat tengah berjuang menghadapi tekanan ekonomi. Para pengamat menilai kebijakan ini kontras dengan realitas rakyat yang semakin sulit membeli kebutuhan pokok.

“Warga mendapatkan kesulitan dalam hal hal-hal mendasar, seperti kebutuhan pokok sehari-hari dan ada pajak yang dinaikkan, keputusan soal perumahan ini bukan keputusan yang patut,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha kepada BBC News Indonesia, Senin (18/08).

Dari “Gaji Kecil” hingga Rp100 Juta Lebih

Kontroversi ini bermula ketika anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menjawab pertanyaan mengenai sulitnya mencari uang halal di Senayan. Ia justru membuka informasi terkait besaran penghasilan para anggota dewan yang berasal dari gaji pokok, tunjangan rumah, hingga berbagai tunjangan lain yang jumlahnya lebih dari Rp100 juta.

“Kami ini hanya menerima. Buat saya diberi berapapun saya bersyukur,” ujar Hasanuddin.

Meski membantah adanya kenaikan, jumlah ini tercatat lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode 2019–2024. Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menyebut perbedaan tersebut disebabkan penambahan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, sebagai kompensasi atas fasilitas rumah dinas yang sudah tidak difungsikan lagi.

Kritik: Boros, Tidak Etis, dan Tidak Sesuai Konteks

Kebijakan yang tertuang dalam surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 langsung menuai penolakan. Angka Rp50 juta per bulan untuk biaya sewa rumah dinilai tidak masuk akal. Apalagi, alasan agar anggota dapat tinggal dekat gedung DPR terbantahkan karena tingkat kehadiran dewan dalam sidang kerap rendah sehingga pembahasan legislasi sering tersendat.

ICW menghitung, dengan asumsi Rp50 juta dikalikan 60 bulan untuk 580 anggota DPR, maka total anggaran yang harus digelontorkan negara mencapai Rp1,74 triliun. Jumlah sebesar ini disebut-sebut sebagai bentuk pemborosan di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi.

“Apakah patut mengeluarkan anggaran sedemikian besarnya sampai triliunan rupiah selama 60 bulan ketika DPR menjabat?” tanya Egi.

Ironinya, masyarakat saat ini harus menanggung kenaikan harga bahan pokok, naiknya tarif PPN dari 11% ke 12%, serta lonjakan pajak bumi dan bangunan di sejumlah daerah. Data Badan Pangan Nasional per 18 Agustus mencatat harga beras premium menembus Rp16.088/kg, jauh di atas HET sebesar Rp14.900/kg.

Tak hanya itu, laporan Kementerian Ketenagakerjaan juga menyebut 42.385 pekerja mengalami PHK sepanjang semester I 2025, melonjak 32,19% dibanding tahun sebelumnya.

Tunjangan Berlapis, Kinerja Dipertanyakan

Di luar tunjangan rumah, anggota DPR sebenarnya sudah memperoleh beragam fasilitas mulai dari tunjangan keluarga, paket sidang, hingga bantuan listrik dan telepon. Jika ditotal, seorang legislator bisa mengantongi Rp54 juta lebih tiap bulan, di luar perjalanan dinas dan dana daerah pemilihan.

Namun, jumlah fantastis itu dinilai tak sebanding dengan kualitas kinerja DPR.

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai tunjangan besar ini sejatinya hanyalah “subsidi negara” bagi para wakil rakyat.
“Artinya, para anggota dewan ini disubsidi negara dalam jumlah yang cukup besar. Banyaknya variasi subsidi yang diterima anggota DPR ini berbanding terbalik dengan kinerja mereka. Ini ironis,” ucap Lucius.

Lucius bahkan menyebut DPR sangat lihai menciptakan skema baru tunjangan, mulai dari reses, komunikasi intensif, hingga kini tunjangan rumah. Menurutnya, dalih agar menyewa tempat tinggal dekat parlemen tidak bisa dibenarkan, sebab absensi anggota DPR justru sering tidak maksimal.

“Ada banyak sekali jenis tunjangan yang diterima anggota sampai mereka sendiri lupa mengingat satu per satu. Jadi, tunjangan-tunjangan ini seperti strategi untuk menambah pendapatan saja. Karena kalau mengandalkan gaji sangat kecil,” ujarnya.

Rumah Dinas Terbengkalai

Pertanyaan publik kemudian beralih: mengapa tidak memanfaatkan rumah dinas yang sudah ada?
Sekjen DPR Indra Iskandar menjawab, banyak rumah dinas di Kalibata dan Ulujami sudah rusak parah. Bocor, sering banjir, dan membutuhkan biaya renovasi besar. Karena itu, pemerintah memilih memberikan uang tunjangan Rp50 juta per bulan yang disebut “lebih efisien” dibanding revitalisasi.

Namun, ICW menemukan indikasi pengadaan senilai Rp374,53 miliar untuk pemeliharaan perumahan dinas tersebut, menimbulkan dugaan adanya rencana berbeda dari narasi yang disampaikan.

Suara Publik: Layak Dibatalkan

Bagi kalangan masyarakat sipil, kebijakan ini bukan hanya persoalan finansial, melainkan juga menyangkut etika dan kepekaan sosial. Ketika rakyat masih berjibaku dengan harga beras melambung, ancaman PHK, dan tekanan pajak, para wakil rakyat justru menerima fasilitas mewah.

Egi menegaskan, “Padahal efisiensi anggaran di instansi eksekutif Itu berpengaruh kepada warga dari sisi pelayanan publik yang dampaknya warga tidak mendapatkan kualitas dan pelayanan yang baik.”

Di sisi lain, survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2025 menempatkan DPR di posisi kedua terendah dalam hal kepercayaan publik, hanya 69%. Fakta ini memperlihatkan bahwa limpahan tunjangan tak berbanding lurus dengan kepercayaan rakyat terhadap parlemen.

Also Read

Tags