Apple tengah bersiap meluncurkan generasi terbaru iPhone yang diduga akan diberi nama iPhone 17. Namun, kabar gembiranya diringi dengan bayang-bayang kenaikan harga. Meski CEO Apple, Tim Cook, berupaya keras menjaga stabilitas harga dari terpaan kebijakan tarif dagang era Presiden Donald Trump, sejumlah analis menilai lonjakan harga tetap tak terhindarkan.
Selama beberapa bulan terakhir, Cook berhasil meredam dampak kebijakan resiprokal Trump yang sempat mengancam industri teknologi, termasuk ponsel pintar besutan Apple. CNBC Internasional melaporkan, Cook bahkan mendapat apresiasi dari Wall Street atas kemampuannya membangun komunikasi politik dengan Trump, hingga perusahaan raksasa itu terhindar dari tarif paling memberatkan.
Sebagai langkah diplomasi, Cook menawarkan tambahan investasi di AS hingga US$100 miliar. Tidak hanya itu, pada awal Agustus 2025, ia memberikan plakat emas 24 karat berlogo Apple lengkap dengan tanda tangannya kepada Trump sebagai simbol penghargaan. “Terima kasih semuanya, dan terima kasih Presiden Trump karena telah menempatkan inovasi dan lapangan kerja Amerika di posisi terdepan,” ucap Cook saat menyerahkan cenderamata tersebut.
Ancaman Kenaikan Harga Tetap Bayangi
Kendati hubungan baik dengan Trump membuka jalan Apple untuk mendapat keringanan, para analis menilai kenaikan harga iPhone 17 tetap realistis. Jeff Fieldhack, Direktur Riset CounterPoint, menegaskan bahwa perbincangan soal potensi kenaikan harga sudah marak di pasar. “Banyak perbincangan tentang: Apakah harga iPhone akan naik?” katanya.
Bukti lain terlihat dari laporan analis Jeffries, Edison Lee, yang memperkirakan ada kenaikan sekitar US$50 atau setara Rp823.000 pada harga rata-rata iPhone 17. Sementara itu, analis Goldman Sachs memprediksi tren ponsel Apple semakin condong ke model premium yang banderolnya lebih tinggi.
Tahun lalu, Apple meluncurkan empat varian iPhone 16 dengan harga mulai dari US$829 untuk model standar hingga US$1.199 untuk Pro Max. Tahun ini, kabarnya Apple akan tetap merilis empat varian, namun dengan kemungkinan mengganti seri Plus yang kurang diminati, dengan model baru yang lebih tipis dan ringan. Meski tampil lebih elegan, perangkat itu diprediksi mengorbankan kapasitas kamera dan daya tahan baterai.
Analis Goldman menilai desain lebih ramping berpotensi meningkatkan minat pembeli, meski kelemahan baterai bisa jadi tantangan. Estimasi harga perangkat ramping ini dipatok sekitar US$899, mirip dengan iPhone 16 Plus, tapi peluang kenaikan harga tetap terbuka. Meski demikian, banderol tersebut masih lebih rendah dibanding kompetitor seperti Samsung Galaxy Edge tipis yang dipasarkan mulai US$1.099.
Dampak Tarif Dagang Belum Usai
Sejak kebijakan tarif resiprokal diumumkan Trump pada Februari 2025, Apple sebenarnya sudah berada di jalur rawan. Produksi yang berfokus di Tiongkok membuat mereka rentan terkena tarif, sementara Vietnam dan India—dua basis manufaktur alternatif—juga sempat dihantam kebijakan dagang serupa.
Namun, Cook berhasil melakukan manuver cerdas. Dengan mengalihkan sebagian rantai pasok ke India dan memanfaatkan penangguhan tarif terhadap produk ponsel, Apple relatif bisa bernapas. Bahkan pada Mei lalu, Cook sempat menyampaikan kepada investor bahwa strategi pergeseran suplai ini memberi keuntungan besar dalam menjaga harga tetap kompetitif.
Walau demikian, Apple tetap harus menanggung biaya. Perusahaan mengaku sudah mengeluarkan US$800 juta untuk tarif hingga akhir Juni, dengan estimasi bisa membengkak sampai US$1,1 miliar pada kuartal berikutnya. Biaya ini memang kurang dari 4% laba bersih perusahaan, namun tetap menjadi tekanan signifikan.
Setelah berbulan-bulan menyerap beban tarif, para analis menilai Apple kini bersiap menyalurkan sebagian biaya itu ke konsumen. Peluncuran iPhone 17 bulan ini bisa menjadi momentum pertama kalinya Apple menaikkan harga akibat akumulasi tekanan dagang.
Penutup
Jika prediksi analis benar, iPhone 17 bisa jadi hadir dengan teknologi yang lebih tipis, ringan, dan penuh inovasi, tetapi dibarengi harga yang melambung. Strategi Cook dalam menjinakkan badai tarif mungkin telah menyelamatkan Apple sesaat, namun pada akhirnya konsumen lah yang berpotensi ikut menanggung beban.