Doha kembali menjadi sorotan dunia. Sehari sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) darurat negara-negara Arab dan Islam digelar, Perdana Menteri Qatar mengingatkan komunitas internasional agar tidak lagi bersikap dengan “standar ganda” dalam menyikapi agresi Israel. Ia menegaskan perlunya pertanggungjawaban atas serangkaian tragedi politik dan kemanusiaan yang terjadi belakangan ini.
Serangan udara Israel ke sebuah gedung di Doha pada 9 September 2025 lalu, yang menewaskan anggota Hamas serta aparat keamanan setempat, menjadi titik api baru di Timur Tengah. Insiden itu ibarat percikan kecil yang menyulut bara konflik di kawasan yang memang sudah sarat ketegangan geopolitik.
Meski Presiden AS Donald Trump menyampaikan kecaman terhadap langkah Israel, Washington tetap menunjukkan sikap ambivalen. Ia mengirimkan Menteri Luar Negeri Marco Rubio ke Israel sebagai bentuk dukungan politik sekaligus diplomatik.
Seruan Tegas Qatar
Dalam jumpa pers persiapan KTT pada Minggu (14/9), Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menegaskan, “Sudah saatnya masyarakat internasional berhenti menggunakan standar ganda dan menghukum Israel atas semua kejahatan yang telah dilakukannya.”
Ia menambahkan bahwa upaya Israel melakukan “perang pemusnahan” di Gaza pada akhirnya tidak akan berhasil. Menurutnya, diamnya dunia internasional justru menjadi bahan bakar yang membuat Israel semakin berani. “Apa yang mendorong Israel untuk terus melanjutkan aksinya adalah karena diamnya komunitas internasional dan ketidakmampuannya untuk meminta pertanggungjawaban,” ujarnya.
Pemimpin Dunia Berkumpul di Doha
KTT darurat yang berlangsung Senin (15/9) di Doha dihadiri sejumlah pemimpin penting kawasan, termasuk Presiden Iran Masoud Pezeshkian, Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, hingga Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, agenda utama pertemuan adalah membahas “rancangan resolusi terkait serangan Israel terhadap Negara Qatar.”
Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, menekankan kepada Al Jazeera bahwa aksi Israel bukan lagi sekadar konflik Palestina-Israel semata. Ia menyebut adanya ambisi ekspansionis yang lebih luas. “Negara-negara Arab dan Islam harus bersatu dan menemukan solusi berdasarkan masalah yang kini telah didefinisikan ulang ini,” tegasnya.
Kritik dari Akademisi dan Pengamat
Elham Fakhro dari Harvard menilai negara-negara Teluk akan memanfaatkan forum ini untuk menekan Amerika Serikat agar mengendalikan Israel, sekaligus meminta jaminan keamanan yang lebih kokoh.
Sementara itu, Karim Bitar dari Sciences Po Paris menyebut KTT ini sebagai ujian nyata bagi kepemimpinan Arab-Islam. Menurutnya, publik di kawasan sudah lelah dengan retorika kosong. “Apa yang diharapkan rakyat saat ini adalah agar negara-negara ini mengirim sinyal yang tegas, tidak hanya kepada Israel tetapi juga kepada Amerika Serikat, bahwa sudah waktunya masyarakat internasional berhenti memberikan cek kosong kepada Israel,” ujarnya.
Serangan Israel Berlanjut
Di saat para pemimpin berkumpul di Doha, militer Israel justru meningkatkan operasi di Gaza. Serangan udara pada Minggu (14/9) menghantam beberapa gedung bertingkat, termasuk bagian dari Universitas Islam Gaza, serta menewaskan sedikitnya 13 orang. Salah satunya menimpa satu keluarga di Deir al-Balah, terdiri dari dua orang tua, tiga anak, dan seorang kerabat.
Rekaman memperlihatkan ribuan warga mengungsi ke arah selatan dengan membawa barang seadanya, sementara asap mengepul dari lokasi yang diserang. Seorang pengungsi, Ashraf Elwan, menggambarkan penderitaan mereka dengan getir: “Kami mulai berharap kematian datang, daripada menjalani kehidupan seperti ini.”
Israel berdalih gedung-gedung yang dihancurkan digunakan Hamas sebagai titik pengintaian. Namun, warga Palestina menilai tindakan itu bagian dari upaya genosida. “Ini adalah bagian dari tindakan genosida yang dilakukan oleh pendudukan (Israel) di Gaza,” kata Abed Ismail, warga Kota Gaza.
Krisis Kemanusiaan Kian Parah
Selain korban serangan, krisis pangan dan air bersih semakin menghimpit Gaza. Kementerian Kesehatan setempat melaporkan sedikitnya 277 orang dewasa dan 145 anak meninggal akibat kelaparan sejak Oktober 2023. Bantuan internasional yang masuk dianggap jauh dari cukup, banyak di antaranya bahkan dijarah sebelum mencapai warga.
Meski Israel menyatakan telah membuka akses bantuan, kenyataan di lapangan menunjukkan penderitaan tak kunjung mereda. Warga Gaza masih harus antre panjang hanya untuk mendapatkan air bersih, sebuah gambaran getir tentang bagaimana perang telah mengubah kehidupan sehari-hari menjadi perjuangan bertahan hidup.
Harapan pada KTT Darurat
KTT darurat di Qatar kini dipandang sebagai momentum penting untuk menyatukan suara Arab-Islam. Anggota biro politik Hamas, Bassem Naim, menyebut pertemuan ini diharapkan menghasilkan “posisi Arab-Islam yang tegas dan bersatu.”
Dengan tekanan internasional yang terus meningkat, Doha menjadi panggung diplomasi yang krusial—ibarat simpul tempat benang-benang kepentingan dunia ditarik. Pertanyaannya, apakah KTT ini hanya akan melahirkan seruan moral, atau benar-benar menggeser peta politik dan keamanan di Timur Tengah?