Situasi di Jalur Gaza kembali memburuk. Militer Israel semakin memperluas serangannya dengan mengarahkan pasukan dari dua sisi sekaligus menuju jantung Kota Gaza, seakan-akan menjepit penduduk di antara dinding api dan memaksa mereka berbondong-bondong menuju pantai sebagai jalur pelarian terakhir. Gempuran ini berlangsung bersamaan dengan terputusnya jaringan komunikasi serta internet, yang membuat warga semakin terisolasi dari dunia luar.
Juru bicara militer Israel, Nadav Shoshani, menyampaikan kepada Reuters pada Kamis (18/9/2025) bahwa infanteri, tank, dan artileri bergerak maju ke pusat kota dengan dukungan serangan udara.
Menurut laporan Hani Mahmoud dari Al Jazeera, operasi darat tersebut berlangsung dari arah barat laut dan tenggara. “Menghimpit penduduk di tengah” dan mendorong mereka ke sisi barat kota, menuju jalan pesisir al-Rashid yang terhubung ke selatan. Ia menambahkan:
“Serangan terhadap lingkungan yang penuh sesak menyebabkan kepanikan dan ketakutan, dan mendorong orang-orang untuk benar-benar berlarian menyelamatkan diri. Kami melihat gelombang orang sekarang melakukan hal itu,” ungkapnya dari Nuseirat, Gaza tengah.
Serangan Tanpa Henti
Kesaksian warga kepada Al Jazeera menggambarkan hujan bom yang tak berkesudahan. Mereka menyebut adanya “serangan udara oleh drone dan jet tempur” serta ledakan dari “robot” yang dikendalikan dari jarak jauh. Robot-robot itu adalah kendaraan nirawak berisi bahan peledak yang digunakan pasukan Israel untuk meratakan permukiman saat mereka bergerak maju.
Pada hari yang sama, sedikitnya 40 orang tewas akibat serangan di Kota Gaza, menurut data medis setempat. Angka ini hanya menambah daftar panjang korban jiwa sejak serangan dimulai.
Jalur Kehidupan yang Runtuh
Bagi keluarga-keluarga pengungsi, situasi ini terasa seperti berada di tengah mimpi buruk tanpa akhir. Mereka dipaksa meninggalkan rumah untuk kesekian kalinya menuju tempat yang disebut “zona aman,” meski pada kenyataannya tidak ada lokasi yang benar-benar aman. Lebih menyedihkan lagi, banyak yang ragu apakah mereka masih bisa kembali ke rumah yang ditinggalkan.
Meski demikian, sebagian penduduk tetap memilih bertahan. Data dari Biro Pusat Statistik Palestina menunjukkan sekitar 740 ribu orang, atau 35% dari total 2,1 juta penduduk Gaza, masih berada di bagian utara hingga Selasa lalu. Namun, lembaga itu mengingatkan jumlah tersebut kemungkinan menurun drastis seiring berlanjutnya serangan Israel dan hilangnya layanan dasar.
Kantor Kemanusiaan PBB (OCHA) pada Kamis memperingatkan bahwa jalur kehidupan terakhir Kota Gaza sedang runtuh. OCHA menuding Israel telah “secara sistematis menghalangi” distribusi bantuan dengan menutup penyeberangan Zikim menuju Gaza utara yang dilanda kelaparan, serta melarang masuknya sejumlah kebutuhan pokok.
Kritik Internasional
Di luar Kota Gaza, laporan medis menyebutkan 10 warga Palestina tewas akibat tembakan Israel di berbagai wilayah lain. Di sisi lain, militer Israel melaporkan empat tentaranya gugur di Rafah, Gaza selatan, pada dini hari.
OHCHR, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia di Palestina, mengecam keras sikap Israel yang dianggap melakukan “pengabaian terang-terangan” terhadap hukum internasional, khususnya kewajiban membedakan antara warga sipil dan kombatan dalam operasi militernya.
Namun, ketika kritik global semakin deras, upaya menghentikan konflik kembali terhambat. Amerika Serikat memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata, pencabutan blokade bantuan, serta pembebasan sandera yang ditahan Hamas.
Perwakilan tetap Inggris untuk PBB, Barbara Woodward, menegaskan:
“Ekspansi operasi militer Israel yang gegabah semakin menjauhkan kita dari kesepakatan yang dapat memulangkan para sandera dan mengakhiri penderitaan di Gaza.”