Tragedi ambruknya gedung Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, meninggalkan duka mendalam sekaligus gelombang kemarahan bagi keluarga korban. Salah satunya dirasakan oleh Fauzi (48), warga Depok asal Bangkalan, yang kehilangan empat keponakannya sekaligus dalam peristiwa memilukan tersebut.
Bagi Fauzi, rasa kehilangan itu bukan hanya tentang kepergian anggota keluarga, tetapi juga soal rasa keadilan yang harus ditegakkan. Ia menegaskan tidak bisa hanya berdiam diri dan menuntut agar penyebab runtuhnya bangunan pesantren tersebut diusut secara tuntas.
“Kalau memang di situ ada human error atau kelalaian manusia dalam hal pembangunan, ya harus diproses. Penegakan hukum itu harus ditegakkan,” kata Fauzi.
Empat keponakan Fauzi—MH, MS, BD, dan A—menjadi korban jiwa dalam insiden itu. Sementara anak kandungnya, TM, yang juga santri di pesantren tersebut, berhasil selamat karena berada di saf pertama dekat area imam yang tidak terdampak reruntuhan. Keempat keponakannya disebut sedang berada di saf tengah ketika bangunan bertingkat itu ambruk pada Senin (29/9).
Menurut Fauzi, sejak awal kondisi gedung itu sudah tampak mencurigakan. Ia menyebut konstruksinya terlihat tidak memenuhi standar keamanan bangunan.
“Saya sudah konsultasi dengan yang lebih ahli. Dilihat dari konstruksinya memang tidak standar untuk pembangunan,” ucapnya.
Lebih jauh, Fauzi mengungkapkan adanya informasi bahwa sebagian santri sempat dilibatkan dalam proses pembangunan gedung, termasuk pada tahap pengecoran. Hal ini, menurutnya, tidak hanya melanggar prosedur, tetapi juga dapat mengarah pada dugaan eksploitasi anak.
“Santri pada saat itu dipekerjakan. Nanti bukan tidak mungkin ada eksploitasi anak di sana. APH (aparat penegak hukum) jangan berhenti di evakuasi saja, tapi juga proses hukumnya harus jalan,” tegasnya.
Fauzi menilai, tanggung jawab hukum atas tragedi ini tidak boleh berhenti pada level rendah. Ia meminta agar siapa pun yang terlibat—baik pengurus, pengasuh, maupun kiai—diperiksa bila terbukti lalai.
“Kita tidak memandang status sosial atau jabatan. Meskipun statusnya kiai, kalau memang bersalah ya harus diproses. Masa hukum kalah sama status sosial seseorang,” katanya.
Meski mengaku ikhlas atas musibah yang menimpa keluarganya, Fauzi menegaskan bahwa ikhlas tidak berarti melupakan keadilan. Ia hanya berharap agar peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi semua pesantren agar keselamatan santri menjadi prioritas utama.
“Kalau masalah ikhlas, benar kita ikhlas, itu namanya takdir. Tapi kalau kelalaian, ya harus diproses. Hukum harus ditegakkan, supaya ke depan adik-adik kita bisa belajar dengan aman,” ujarnya.
Fauzi juga mengungkap bahwa banyak wali santri enggan menuntut karena budaya menghormati kiai masih sangat kuat. Namun, menurutnya, nilai hormat tidak boleh menjadi alasan untuk menutup mata terhadap kebenaran hukum.
“Banyak wali murid tidak ingin melanjutkan, karena kultur kami itu hormat sekali kepada guru. Tapi menurut saya pribadi, meskipun siapapun itu, kalau ada kelalaian dan ada dasar hukum, ya harus diproses,” kata Fauzi.
Saat ini, Fauzi dan keluarganya masih menunggu proses identifikasi jenazah keempat keponakannya di RS Bhayangkara Polda Jatim, Surabaya.
Di sisi lain, keluarga korban lainnya, Muhammad Ma’ruf (50), ayah dari santri MA (13), memilih untuk menerima peristiwa ini sebagai bagian dari takdir Tuhan.
“Kami nitipkan di pondok ini dengan tujuan, satu agar anak kami kenal dengan Tuhannya, dua kami pasrah dengan guru kami yang ada di sini, andaikan ada kejadian yang tidak diinginkan itu semua takdir dan kami siap menerima adanya,” kata Ma’ruf.
Sikap serupa juga disampaikan oleh KH Abdus Salam Mujib, pengasuh Pondok Pesantren Al Khoziny. Ia menegaskan bahwa tragedi tersebut merupakan ujian dari Allah SWT dan mengajak semua pihak untuk bersabar.
“Ya saya kira ini takdir dari Allah, jadi semuanya harus bisa bersabar. Dan mudah-mudahan juga diberi diganti oleh Allah yang lebih baik,” ujarnya.
Ia juga berharap agar seluruh korban mendapatkan ganjaran pahala dan ketenangan dari Allah SWT.
“Diberi pahala yang sangat-sangat, apa ya, nggak bisa mengutarakan dan mudah-mudahan dibalas kebaikan oleh Allah SWT yang lebih dari musibah ini,” ucapnya.
Sementara itu, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nanang Avianto memastikan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti kasus ini secara hukum setelah proses evakuasi seluruh korban selesai.
“Jelas tetap nanti akan melakukan kegiatan proses [hukum] tapi yang utama sekarang ini adalah masalah kemanusiaannya dulu,” kata Nanang saat meninjau lokasi, Jumat (3/10).
Nanang menegaskan, penyelidikan akan dilakukan secara menyeluruh dan ilmiah. Polisi telah mengumpulkan berbagai bukti, termasuk dokumentasi dan data awal terkait dugaan kegagalan konstruksi bangunan.
“Jadi nanti gini, ini kan harus dilihat dulu semuanya sampai awal. Dari proses yang jatuh ini sudah kita filekan. Kita filmkan. Kita ambil dokumentasinya,” ujarnya.
Selain itu, pihak kepolisian juga melibatkan para ahli di bidang konstruksi untuk menelusuri penyebab pasti ambruknya bangunan tersebut.
“Dan ini kan harus sampai keseluruhan menyeluruh. Dan kami juga ada panduan dari teman-teman ahli bidang konstruksi,” lanjutnya.
Menurut Nanang, penyelidikan akan dimulai dari struktur dasar bangunan untuk memastikan apakah ada kesalahan desain atau pelaksanaan pembangunan yang menyebabkan gedung tiga lantai itu runtuh.
“Jadi ini ada tahapannya dan harus sampai selesai sampai di bawah. Karena kan kita harus tahu konsep membangun itu kan tidak ujuk-ujuk dari atas. Semua ada dari bawah dulu,” katanya.
“Indikasi awal ya nanti dari teman-teman ahli yang bisa menjelaskan, teman-teman. Jadi nanti kalau sudah ada kan penjelasan itu kan lebih valid karena dengan saintis ya,” tambahnya.
Tragedi ambruknya gedung Ponpes Al Khoziny pada Senin sore (29/9) menewaskan 67 orang dari total 171 santri yang tertimpa reruntuhan, sementara 104 lainnya berhasil selamat. Peristiwa memilukan ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan berbasis pesantren, menyoroti pentingnya standar keselamatan dalam pembangunan sarana keagamaan.
Kini, masyarakat menunggu janji aparat penegak hukum ditepati — agar keadilan tidak ikut runtuh bersama gedung yang roboh, dan tragedi serupa tak lagi berulang di masa depan.