Langkah Perdamaian di Ujung Tanduk, Hamas Desak Penarikan Militer Israel dari Gaza

Sahrul

Harapan akan berakhirnya konflik panjang di Jalur Gaza kembali mencuat seiring dengan langkah Hamas yang menyatakan kesiapan untuk mencapai kesepakatan damai berdasarkan rencana Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Namun, di balik isyarat menuju perdamaian tersebut, kelompok perlawanan Palestina itu menegaskan bahwa mereka masih memiliki serangkaian tuntutan yang harus dipenuhi.

Isyarat ini menjadi sinyal bahwa jalannya negosiasi tidak langsung antara Hamas dan Israel di Mesir kemungkinan besar tidak akan berjalan mulus. Proses perundingan yang digelar di Sharm el-Sheikh itu diperkirakan bakal panjang dan sarat dengan dinamika politik yang kompleks.

Menurut laporan Reuters, Selasa (7/10/2025), pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum, menguraikan posisi resmi kelompoknya pada momentum dua tahun serangan terhadap Israel yang menjadi pemicu perang Gaza. Pernyataan itu datang sehari setelah negosiasi tidak langsung dengan Israel resmi dimulai di Mesir.

Pertemuan ini menjadi titik harapan baru untuk mengakhiri perang yang telah menelan puluhan ribu korban jiwa di pihak Palestina dan meninggalkan Gaza dalam kondisi porak-poranda sejak serangan besar 7 Oktober 2023. Serangan tersebut menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menyebabkan 251 orang dijadikan sandera serta dibawa kembali ke Gaza.

Meski begitu, para pejabat dari berbagai pihak mengingatkan agar tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap hasil perundingan ini. Israel tengah memperingati hari paling kelam bagi warga Yahudi sejak tragedi Holocaust, sementara di sisi lain, masyarakat Gaza hanya ingin melihat secercah cahaya di ujung terowongan panjang penderitaan dua tahun perang yang belum usai.

“Delegasi gerakan (Hamas) yang berpartisipasi dalam negosiasi saat ini di Mesir sedang berupaya mengatasi semua hambatan untuk mencapai kesepakatan yang memenuhi aspirasi rakyat kami di Gaza,” kata Barhoum dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi.

Barhoum menegaskan, kesepakatan damai hanya dapat dicapai jika perang benar-benar dihentikan dan pasukan Israel sepenuhnya menarik diri dari Jalur Gaza — dua hal yang hingga kini masih ditolak oleh Tel Aviv. Di sisi lain, Israel menuntut Hamas untuk melucuti seluruh persenjataannya, sesuatu yang juga ditolak keras oleh kelompok tersebut.

Hamas disebut menginginkan gencatan senjata permanen, penarikan penuh pasukan Israel, serta percepatan proses rekonstruksi Gaza yang hancur, di bawah pengawasan “badan teknokratis nasional” Palestina. Tuntutan ini mencerminkan keinginan Hamas untuk memastikan masa depan Gaza dibangun oleh rakyatnya sendiri tanpa intervensi asing.

Namun, tantangan besar menghadang proses perundingan. Berbagai faksi Palestina, termasuk Hamas, mengeluarkan pernyataan bersama yang menegaskan tekad untuk “menentang dengan segala cara” dan menyatakan bahwa “tidak seorang pun berhak menyerahkan senjata rakyat Palestina.”
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, belum memberikan komentar terkait perkembangan negosiasi di Sharm el-Sheikh.

Pejabat Amerika Serikat menegaskan bahwa prioritas utama mereka saat ini adalah menghentikan pertempuran dan menuntaskan logistik pembebasan para sandera serta tahanan politik. Meski demikian, Qatar, salah satu mediator utama, mengingatkan bahwa masih banyak detail teknis yang perlu dirumuskan, menandakan bahwa kesepakatan final masih jauh dari jangkauan.

Selama gencatan senjata belum tercapai, Israel tetap melanjutkan operasi militernya di Gaza, yang justru memperburuk isolasi diplomatik di kancah internasional. Aksi-aksi solidaritas pro-Palestina pun bermunculan di berbagai negara, menandakan meningkatnya tekanan global terhadap Tel Aviv.

Dalam momentum peringatan dua tahun tragedi 7 Oktober, sejumlah warga Israel melakukan ziarah ke lokasi-lokasi yang paling terdampak. Salah satunya adalah Orit Baron, yang berdiri di bekas lokasi festival musik Nova di Israel selatan, tempat putrinya, Yuval, tewas bersama tunangannya, Moshe Shuva.

“Mereka seharusnya menikah pada 14 Februari, Hari Valentine. Dan kedua keluarga memutuskan, karena mereka ditemukan (meninggal) bersama dan mereka membawa mereka kepada kami bersama-sama, bahwa pemakamannya akan dilakukan bersamaan,” kata Baron.

“Mereka dimakamkan bersebelahan karena mereka tidak pernah dipisahkan.”

Israel berharap, perundingan yang sedang berlangsung di Mesir akan menghasilkan pembebasan ke-48 sandera yang masih ditahan Hamas di Gaza. Dari jumlah tersebut, sekitar 20 orang diyakini masih hidup.

“Rasanya seperti luka terbuka, para sandera, saya tak percaya sudah dua tahun berlalu dan mereka masih belum pulang,” ujar Hilda Weisthal, 43 tahun.

Sementara itu, di Gaza, suara keputusasaan menyelimuti warga yang telah bertahan dalam kondisi tidak manusiawi selama dua tahun terakhir. Seorang warga bernama Mohammed Dib, 49 tahun, mengungkapkan harapannya agar perang ini segera berakhir.

“Sudah dua tahun kami hidup dalam ketakutan, kengerian, pengungsian, dan kehancuran,” ujarnya.

Krisis kemanusiaan di Gaza kini mencapai titik paling memprihatinkan dalam sejarah modern. Rumah-rumah hancur, keluarga tercerai-berai, dan masa depan generasi muda Palestina seolah terkubur di bawah puing-puing perang yang tak kunjung berhenti.

Namun di tengah reruntuhan itu, harapan masih menyala—meski kecil, seperti lentera yang menolak padam di tengah badai. Dunia kini menanti apakah perundingan di Mesir mampu menjadi jalan menuju akhir dari penderitaan panjang di tanah yang disebut sebagai jantung Timur Tengah itu.

Also Read

Tags