Perusahaan yang Masih Pakai Windows 10 Terancam Serangan Siber

Sahrul

Hingga pertengahan Oktober 2025, peta penggunaan sistem operasi global masih menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap Windows 10, meskipun Microsoft telah resmi mengakhiri dukungan keamanannya. Kondisi ini membuat ribuan organisasi ibarat berdiri di tepi jurang siber—setiap celah kecil bisa menjadi pintu masuk bagi para peretas.

Berdasarkan laporan TechRadar, Selasa (13/10/2025), hampir setengah dari total endpoint di seluruh dunia masih menjalankan sistem operasi tersebut. Padahal, sejak 14 Oktober 2025, Microsoft sudah tidak lagi menyediakan pembaruan keamanan maupun peningkatan fitur. Dengan kata lain, jika muncul kerentanan baru, sistem tersebut akan terbuka lebar terhadap serangan, tanpa ada perisai pembaruan resmi yang melindungi.

Masih tingginya jumlah perangkat berbasis Windows 10 ini bukan tanpa alasan. Banyak perusahaan dan institusi publik menghadapi tantangan besar untuk melakukan migrasi ke sistem yang lebih mutakhir. Faktor anggaran terbatas, ketergantungan pada aplikasi lama, dan kompleksitas proses pemindahan menjadi hambatan utama. Bagi sebagian organisasi, mengganti sistem operasi tidak sesederhana menekan tombol “update”—melainkan menyangkut infrastruktur, SDM, hingga kompatibilitas teknologi lama.

Di balik itu semua, ada fenomena yang kerap disebut sebagai technical debt atau utang teknis. Alih-alih mendorong inovasi, banyak divisi IT justru menghabiskan energi dan dana untuk mempertahankan sistem lawas agar tetap berjalan. Dalam sejumlah survei, mayoritas responden menyatakan mereka menginginkan lebih banyak sumber daya untuk pengembangan, namun realitasnya waktu dan biaya tersedot untuk pemeliharaan sistem lama.

Situasi ini menciptakan dilema klasik: apakah organisasi sebaiknya bertahan dengan Windows 10 hingga benar-benar tak bisa lagi, atau segera melakukan migrasi dengan segala konsekuensi dan risiko operasional yang menyertainya. Sebagian pelaku industri memilih jalan tengah—mengambil opsi Extended Security Updates (ESU) dari Microsoft. Melalui layanan ini, mereka dapat membeli perpanjangan patch keamanan, setidaknya untuk sementara waktu.

Namun, solusi tambal sulam seperti ini hanya menunda risiko, bukan menghilangkannya. Begitu masa ESU habis, perangkat lama akan kembali dalam kondisi terbuka. Dalam ekosistem digital yang terus berkembang, penundaan migrasi hanya akan memperbesar celah ancaman. Para ahli keamanan mengingatkan bahwa setiap perangkat tanpa dukungan resmi akan menjadi “umpan empuk” bagi serangan siber, mulai dari ransomware, malware, hingga pencurian data sensitif.

Dengan demikian, keputusan migrasi bukan lagi sekadar langkah teknis, melainkan strategi keamanan jangka panjang. Organisasi yang menunda terlalu lama berpotensi membayar harga mahal—bukan hanya dalam bentuk kerugian finansial, tetapi juga reputasi dan kepercayaan publik.

Also Read

Tags