Dunia Pantau Ketat Perkembangan Gaza Pasca Gencatan Senjata

Sahrul

Gencatan senjata yang baru saja diberlakukan antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza mulai terguncang. Meski kesepakatan penghentian serangan sementara ini diharapkan menjadi jembatan menuju stabilitas, tanda-tanda rapuhnya kesepakatan tersebut semakin jelas terlihat.

Akar ketegangan muncul dari kebijakan Israel yang menutup rapat perbatasan Rafah—salah satu jalur vital bagi mobilitas warga dan distribusi bantuan—dengan Mesir. Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa pintu perlintasan itu hanya akan kembali dibuka jika Hamas menyerahkan seluruh jenazah sandera yang masih berada di Gaza.
“Perdana Menteri Netanyahu telah memerintahkan agar perlintasan Rafah tetap ditutup sampai pemberitahuan lebih lanjut,” demikian bunyi pernyataan resmi tersebut, dikutip AFP, Minggu (19/10/2025).
“Pembukaan kembali perlintasan ini akan dipertimbangkan berdasarkan bagaimana Hamas memenuhi kewajibannya untuk memulangkan para sandera dan jenazah korban, serta untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang disepakati (dari gencatan senjata),” tambah pernyataan itu.

Rafah, Titik Kritis yang Kembali Diperebutkan

Jalur Rafah selama ini menjadi nadi keluar-masuknya warga sipil dan bantuan internasional bagi Gaza. Kedutaan Besar Palestina di Kairo sempat mengumumkan pembukaan kembali perlintasan pada Senin (20/10), untuk memfasilitasi warga Palestina yang bermukim di Mesir agar dapat pulang ke Gaza. Namun, Israel menegaskan bahwa pembukaan jalur itu hanya akan diperuntukkan bagi pergerakan orang, bukan arus bantuan kemanusiaan.

Sejak Mei 2024, Israel menguasai sisi Palestina dari penyeberangan Rafah dengan alasan fasilitas itu dipakai untuk “tujuan teroris” dan dugaan penyelundupan senjata. Setelah pengambilalihan tersebut, akses bagi PBB dan bantuan pun tersendat. Rafah sempat dibuka sementara saat gencatan senjata Januari 2025, namun kini situasinya kembali tegang.

Isu Jenazah Sandera Jadi Titik Tawar

Situasi semakin rumit ketika Hamas melalui sayap bersenjatanya, Brigade Ezzedine Al-Qassam, menyerahkan dua jenazah sandera kepada Israel pada Sabtu malam. Penyerahan ini merupakan bagian dari implementasi kesepakatan gencatan senjata. Menurut pernyataan resmi, pasukan Israel menerima jenazah tersebut dari Palang Merah sebelum dilakukan proses identifikasi.

Hamas sebelumnya mengakui bahwa proses evakuasi jenazah tersisa membutuhkan waktu dan bantuan teknis karena banyak jasad masih terkubur di bawah reruntuhan bangunan akibat perang. Kondisi ini menjadi titik sensitif, sebab Israel mensyaratkan penyerahan semua jenazah sandera sebelum membuka kembali gerbang Rafah.

Sesuai kesepakatan yang ditengahi Amerika Serikat, Hamas telah membebaskan 20 sandera hidup dan menyerahkan jenazah 12 orang korban tewas. Sebagai balasan, Israel membebaskan hampir 2.000 tahanan Palestina dan mengembalikan 135 jenazah warga Palestina sejak 10 Oktober 2025.

Serangan Balik Mengancam Damai

Di tengah rapuhnya kesepakatan tersebut, Israel kembali melancarkan serangan udara dan artileri di wilayah Rafah pada Minggu (19/10). Serangan ini menghancurkan terowongan dan sejumlah bangunan yang dituding sebagai instalasi militer Hamas. Serangan tersebut dilakukan setelah Israel menuduh Hamas melanggar gencatan senjata.

Saksi mata menggambarkan suasana mencekam. Ledakan dan rentetan tembakan terdengar di berbagai penjuru Rafah. Petugas medis Rumah Sakit Al-Aqsa melaporkan adanya serangan tank di kota selatan Abassan, tembakan di Zawayda, serta ledakan di Deir Al-Balah yang menewaskan sedikitnya lima orang.

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat delapan korban jiwa dalam 24 jam terakhir akibat serangan tersebut. Militer Israel menuding Hamas telah melancarkan serangan granat berpeluncur roket dan tembakan penembak jitu terhadap pasukan mereka.
“Kedua insiden tersebut terjadi di wilayah yang dikuasai Israel… Ini merupakan pelanggaran gencatan senjata yang berani,” ujar seorang pejabat militer Israel.

Klaim dan Bantahan

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menegaskan bahwa batas penarikan pasukan Israel dalam kesepakatan gencatan senjata akan “ditandai secara fisik” dan setiap upaya pelanggaran akan dibalas dengan kekuatan bersenjata.

Namun, Hamas membantah telah melanggar kesepakatan tersebut. “Kami tidak mengetahui adanya insiden atau bentrokan yang terjadi di wilayah Rafah, karena wilayah tersebut merupakan zona merah di bawah kendali pendudukan, dan kontak dengan kelompok-kelompok kami yang tersisa di sana telah terputus sejak perang kembali terjadi pada bulan Maret tahun ini,” kata Brigade Qassam dalam sebuah pernyataan yang dilansir Al Jazeera.

Damai yang Rapuh

Gencatan senjata ini kini bagaikan seutas tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ketidakpastian pembukaan Rafah, isu sandera yang belum selesai, serta serangan militer yang kembali menggelegar membuat prospek perdamaian di Gaza kian suram.

Meski kesepakatan ini semula menjadi secercah harapan bagi warga Gaza untuk bernapas lega, dinamika politik dan militer yang terus berubah menunjukkan betapa rapuhnya upaya menghentikan konflik panjang di wilayah tersebut.

Also Read

Tags