Pemerintah tengah mempersiapkan langkah baru dalam transisi energi nasional dengan menggabungkan etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa kebijakan pencampuran 10 persen etanol atau E10 akan mulai diterapkan paling lambat pada tahun 2027.
Langkah ini bukan sekadar uji coba, melainkan bagian dari strategi besar menuju kemandirian energi. Bahlil mengatakan pemerintah masih mengkaji waktu paling tepat menerapkan kebijakan ini. Namun, ia melihat kebijakan ini kemungkinan berlaku dua tahun lagi. Ia menegaskan, penerapan E10 tengah dalam proses perencanaan matang agar tidak tergesa dan tetap memperhatikan kesiapan seluruh infrastruktur pendukung.
“Tetapi menurut saya yang kita lagi desain kelihatannya paling lama 2027 ini sudah bisa jalan,” ungkap Bahlil di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin (20/10).
Kesiapan Pabrik Etanol Jadi Kunci
Menurut Bahlil, keberhasilan kebijakan E10 sangat bergantung pada kesiapan industri etanol domestik. Sebelum kebijakan ini diimplementasikan, pabrik-pabrik pengolahan etanol di dalam negeri harus dibangun dan beroperasi secara optimal. Ia menilai bahwa tanpa pondasi industri yang kuat, pelaksanaan E10 akan sulit berjalan efektif.
Meski demikian, pemerintah tidak ingin terlalu lama menunggu. Upaya percepatan terus dilakukan agar program campuran etanol ini bisa segera dijalankan. Langkah ini dinilai penting untuk menjaga ketahanan energi sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.
“E10 adalah bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi impor bensin sebab impor bensin banyak, 27 juta ton per tahun,” ujar Bahlil.
Langkah Menuju Kemandirian Energi
Program E10 merupakan bagian dari upaya jangka panjang pemerintah dalam menekan impor bensin yang selama ini menekan neraca perdagangan energi. Dengan memanfaatkan etanol—yang dapat dihasilkan dari sumber biomassa seperti tebu dan singkong—Indonesia berpotensi memperkuat sektor energi berbasis sumber daya lokal.
Selain etanol, pemerintah juga mulai melirik pengembangan bahan bakar nabati lain. Bahlil mengungkap bahwa pemerintah berencana mendorong penggunaan biodiesel B50 mulai tahun depan, menggantikan standar B40 yang saat ini berlaku. Inisiatif tersebut menjadi sinyal kuat bahwa arah kebijakan energi nasional tengah bergeser menuju bauran energi terbarukan.
Dukungan dari Kementerian Lain
Kebijakan etanol juga mendapat dukungan dari jajaran kementerian lainnya. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan pentingnya mewujudkan kemandirian energi agar Indonesia tak lagi bergantung pada impor bahan bakar dari luar negeri.
“Kita mesti swasembada di bidang energi. Ini Pak Bahlil, Menteri ESDM, sudah mengumumkan, tahun depan kita akan penuh memakai biofuel. Oleh karena itu, tahun depan Indonesia diusahakan, dikejar, ditargetkan tidak impor lagi,” ujar Zulkifli Hasan di Jakarta, Rabu (15/10).
Dorongan untuk Energi Hijau dan Ekonomi Lokal
Penerapan E10 tak hanya membawa dampak pada sektor energi, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru. Dengan meningkatnya kebutuhan etanol, industri pertanian dan perkebunan lokal berpotensi tumbuh pesat, khususnya pada komoditas penghasil bahan baku bioetanol. Program ini diharapkan menjadi sinergi antara sektor energi dan pertanian yang saling menguatkan.
Jika berjalan sesuai rencana, kebijakan etanol bisa menjadi “bahan bakar baru” bagi perekonomian daerah, sekaligus mempercepat langkah Indonesia menuju transisi energi bersih. Tahun 2027 diproyeksikan menjadi tonggak penting ketika BBM ramah lingkungan mulai menjadi standar baru di seluruh negeri.
Dengan begitu, rencana pemerintah untuk menerapkan bensin campur etanol bukan sekadar program teknis, tetapi sebuah visi besar menuju Indonesia yang mandiri energi, ramah lingkungan, dan berdaulat atas sumber dayanya sendiri.