Pemerintah kembali membuka ruang lebih lebar bagi sektor swasta dalam industri energi nasional. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan bahwa kuota impor bahan bakar minyak (BBM) untuk tahun 2026 akan dibagi secara merata, baik untuk badan usaha milik negara maupun pihak swasta.
“Kita pemerintah ini berbicara tentang regulasi. Waktu itu kita sudah putuskan bahwa kuota impor sudah diberikan kepada semua badan usaha, baik pemerintah maupun swasta,” ujar Bahlil, di Istana, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Langkah ini menandai perubahan arah kebijakan energi yang lebih inklusif, di mana pemerintah membuka jalan agar para pelaku swasta bisa ikut berperan aktif dalam menjaga ketersediaan energi nasional. Dalam pandangan Bahlil, kolaborasi antara pemerintah dan swasta menjadi salah satu kunci untuk mencapai keseimbangan antara efisiensi pasar dan stabilitas pasokan BBM dalam negeri.
Dorongan Efisiensi dan Keadilan Energi Nasional
Bahlil menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan sekadar pelonggaran akses, melainkan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat daya saing energi nasional. Ia menegaskan bahwa prinsip utama dalam kebijakan impor BBM tetap mengedepankan aturan main yang adil dan transparan, agar seluruh pihak bisa berkompetisi dengan sehat.
“Swasta kita memberikan 110 persen dibandingkan dengan 2024. Nah, untuk B2B-nya silakan diatur dengan Pertamina,” tutur dia.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pemerintah memberi peningkatan ruang hingga 110 persen bagi sektor swasta dibandingkan dengan kuota impor tahun sebelumnya. Namun, pengaturannya tetap dilakukan melalui mekanisme bisnis antarperusahaan atau business to business (B2B) agar tidak menimbulkan tumpang tindih dengan peran Pertamina sebagai pengelola utama pasokan BBM nasional.
Pertamina Tetap Dominan, Swasta Didorong Adaptif
Bahlil menampik anggapan bahwa kebijakan ini akan menggerus peran Pertamina di pasar domestik. Menurutnya, meski kuota impor dibuka untuk pihak swasta, kebutuhan energi nasional yang terus meningkat akan tetap menjamin stabilitas bisnis BUMN migas tersebut.
“Andaikan pun sekalipun kuotanya sudah masuk, BBM-nya sudah masuk, belum diambil oleh swasta, saya yakin Pertamina enggak akan mungkin rugi. Karena pasti kebutuhan itu habis. Karena kuota impornya itu kan kita enggak nambah. Saya yakin dan percaya bahwa mereka biarkan kita kasih waktu untuk B2B,” kata Bahlil.
Analogi yang digunakan Bahlil menggambarkan bagaimana pasar energi domestik tetap memiliki “lubang serapan” yang besar. Seperti air yang selalu mencari jalan mengalir, permintaan BBM nasional akan selalu terserap habis karena tingginya kebutuhan industri, transportasi, hingga sektor rumah tangga.
Kebijakan 2026: Asas Keadilan dan Kepatuhan Regulasi
Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan kuota impor BBM tahun 2026 akan tetap berpijak pada prinsip keadilan dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Dengan kata lain, hanya badan usaha yang taat aturan dan memiliki rekam jejak bisnis yang sehat yang akan mendapatkan porsi kuota secara proporsional.
“Nah, terkait dengan 2026 kita akan memberikan kuota juga. Dan kita akan berlakukan sama. Bagi perusahaan-perusahaan yang mau taat aturan,” imbuh dia.
Bahlil juga mengisyaratkan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang pemerintah dalam membangun pasar energi yang lebih terbuka, kompetitif, dan efisien. Dengan memberikan ruang yang sama kepada swasta, pemerintah berharap tercipta sinergi yang mendorong kemandirian energi nasional tanpa harus menambah beban fiskal.
Menuju Transformasi Energi yang Lebih Terbuka
Kebijakan kuota impor BBM 2026 ibarat pintu baru bagi iklim investasi di sektor energi. Pemerintah tampak berupaya menyeimbangkan kepentingan nasional dengan dinamika pasar global, di mana keterlibatan swasta diharapkan mampu menciptakan efisiensi distribusi sekaligus memperluas kapasitas logistik nasional.
Dengan langkah ini, Bahlil menegaskan komitmen pemerintah untuk menjadikan pasar energi Indonesia tidak hanya bergantung pada satu pemain besar, tetapi juga membuka jalan bagi munculnya kekuatan-kekuatan baru di sektor hilir.
Melalui kebijakan yang berlandaskan keadilan dan keterbukaan, pemerintah berharap energi tidak lagi menjadi “komoditas langka”, melainkan “urat nadi” yang menggerakkan ekonomi bangsa secara berkelanjutan.






