Kekerasan di Sudan kembali mencapai puncaknya setelah laporan pembantaian massal oleh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di kota El-Fasher pada Rabu (29/10) mengguncang dunia.
Dalam video yang beredar luas di media sosial—dan telah diverifikasi oleh Al Jazeera—terlihat aksi brutal pasukan RSF yang menyiksa hingga mengeksekusi warga sipil tanpa ampun. Potongan-potongan rekaman tersebut menjadi bukti nyata betapa getirnya nasib rakyat Sudan di tengah konflik yang tak kunjung usai.
Akar Konflik: Pertarungan Dua Jenderal dan Bayang Kudeta Lama
Perang saudara ini bukan muncul dalam semalam. Api konflik telah menyala sejak April 2023, dipicu oleh perebutan kekuasaan antara militer Sudan dan RSF.
Setelah kejatuhan Presiden Omar al-Bashir pada 2019—sebuah peristiwa yang menandai berakhirnya kekuasaan tiga dekade pasca kudeta 1989—Sudan memasuki masa transisi politik yang rapuh.
Di tengah kekosongan stabilitas itu, dua tokoh militer kuat tampil sebagai pengendali arah negara: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin angkatan bersenjata yang kini memegang kendali pemerintahan sementara, dan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), komandan RSF.
Ironisnya, dua figur ini dulunya bersekutu dalam kudeta 2021, namun kemudian berbalik menjadi musuh bebuyutan setelah berselisih mengenai rencana integrasi RSF ke dalam militer nasional.
Pertarungan dua kekuatan bersenjata inilah yang menjelma menjadi badai perang saudara, meluluhlantakkan negeri yang dahulu dijuluki “mutiara Afrika Timur” itu.
Darfur: Tanah yang Kembali Berdarah
Wilayah Darfur barat, yang pernah menjadi saksi genosida pada awal 2000-an, kini kembali tenggelam dalam lautan duka. Sejak El-Fasher—kota strategis sekaligus benteng terakhir militer Sudan—jatuh ke tangan RSF pada Oktober 2025, laporan kekejaman terhadap warga sipil kian mengerikan.
Lebih dari 150 ribu jiwa telah melayang, sementara 12 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, menjadikan konflik ini sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
RSF kini menguasai hampir seluruh wilayah Darfur dan sebagian besar Kordofan, menjadikan kekuatan paramiliter itu ibarat bayang hitam yang menelan Sudan dari barat hingga selatan.
Namun, kemenangan militer RSF tak membawa kedamaian—malah menimbulkan ketakutan baru. Dunia internasional mulai mewaspadai potensi genosida terhadap kelompok non-Arab, yang kini hidup dalam ketakutan di bawah kekuasaan senjata.
Krisis Kemanusiaan yang Menghancurkan Generasi
Konflik yang berkepanjangan membuat sistem kesehatan Sudan lumpuh total. Lebih dari 80 persen fasilitas medis tak lagi berfungsi, ibarat tubuh tanpa jantung di tengah wabah penyakit.
Akibatnya, penyakit menular seperti kolera dan malaria merebak cepat. Lebih tragis lagi, 3,4 juta anak di bawah usia lima tahun kini menghadapi ancaman malnutrisi akut dan infeksi mematikan.
Kondisi ini menggambarkan krisis yang lebih dalam dari sekadar perang—ia adalah perang melawan kelaparan, wabah, dan kehilangan harapan.
El-Fasher: Kota yang Terkepung, Dunia yang Terdiam
El-Fasher kini menjadi simbol penderitaan Sudan, kota yang berubah menjadi penjara raksasa bagi rakyatnya sendiri.
Setelah 18 bulan pengepungan, pasukan RSF menutup akses bantuan makanan, menghancurkan kamp pengungsi Zamzam, dan bahkan membangun tembok tanah untuk menjebak warga di dalam kota.
Sekitar 250 ribu penduduk kini terperangkap di sana tanpa akses logistik yang memadai. Kelaparan menjalar, air bersih menjadi barang langka, dan suara tembakan menjadi musik sehari-hari.
Kondisi tersebut menunjukkan betapa rapuhnya kemanusiaan di tengah perebutan kekuasaan. El-Fasher tak lagi sekadar nama kota, melainkan cermin luka Sudan—luka yang terus menganga sementara dunia masih menatap dari kejauhan.
Dunia Diminta Tak Lagi Bungkam
Meningkatnya kekerasan di Sudan menunjukkan bahwa konflik ini telah melampaui batas perang konvensional dan berubah menjadi tragedi kemanusiaan global. Lembaga internasional, termasuk PBB dan Uni Afrika, didesak mengambil langkah nyata untuk menghentikan pembantaian serta memastikan akses bantuan kemanusiaan bagi warga sipil.
Namun hingga kini, medan politik dan diplomasi global masih terbelah. Di saat sebagian negara menyerukan gencatan senjata, yang lain memilih diam demi menjaga kepentingan geopolitik mereka.
Sementara itu, bagi rakyat Sudan, setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup—antara peluru dan kelaparan, di negeri yang dulu berjanji menuju demokrasi, tapi kini terjebak dalam lingkaran darah dan kepedihan tanpa akhir.






