Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Direktur Utama PT KAI sekaligus eks Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (3/11/2025), sempat menimbulkan spekulasi publik. Banyak yang menduga, pertemuan selama dua jam itu berkaitan dengan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang kini tengah menghadapi tekanan finansial. Namun, Jonan dengan tegas membantah hal tersebut.
Jonan yang tiba di kompleks Istana sekitar pukul 15.34 WIB dan baru meninggalkan lokasi sekitar 18.20 WIB, menuturkan bahwa pertemuannya dengan Prabowo tidak berkaitan sedikit pun dengan proyek kereta cepat. “Tadi kami diterima Bapak Presiden yang diprakarsai oleh Bapak Seskab selama kurang lebih dua jam. Lama sekali ya?” ujar Jonan sembari tersenyum. Ia kemudian menegaskan, “Enggak, enggak (bahas kereta cepat). Enggak, saya nggak diminta masukan kok soal itu.”
Jonan menegaskan bahwa kunjungannya ke Istana semata dilakukan sebagai warga negara yang ingin berdiskusi dan berbagi pandangan mengenai sejumlah program pemerintah. Ia menggambarkan pertemuan itu sebagai obrolan santai yang mengalir, lebih menyerupai dialog antara rakyat dan pemimpinnya ketimbang rapat resmi.
Diskusi keduanya, kata Jonan, berfokus pada program-program kerakyatan yang dijalankan Prabowo. Beberapa di antaranya mencakup Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, serta Koperasi Desa Merah Putih—inisiatif yang disebut Jonan mampu menimbulkan efek berantai bagi perekonomian nasional. Ia juga menyoroti langkah-langkah Prabowo dalam diplomasi luar negeri, serta penguatan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di dalam pembangunan ekonomi.
Selama perbincangan berlangsung, Prabowo disebut mendengarkan dengan seksama. “Puji Tuhan beliau berkenan untuk mendengarkan dan diskusi dan menerima lah beberapa masukan. Juga program-program yang sifatnya itu kerakyatan. Jadi diskusinya itu aja sih, nggak ada yang lain,” ungkap Jonan.
Saat disinggung mengenai proyek kereta cepat, isu yang sempat membuatnya menjadi sorotan publik kala menjabat sebagai Menteri Perhubungan, Jonan memilih untuk tidak berkomentar. Ia menegaskan bahwa dirinya kini telah pensiun dari jabatan pemerintahan, sehingga tidak etis memberikan pandangan lebih jauh.
“Nggak ada, saya udah pensiun, saya nggak akan nyampaikan pendapat lah. Nggak, nggak ada. Enggak, ya diskusi aja kok. Diskusi aja,” tuturnya.
Jonan juga menepis anggapan bahwa Prabowo menanyakan pendapat pribadinya mengenai utang proyek Whoosh ataupun rencana perpanjangan masa konsesi. “Saya kira kalau, saya nggak tahu ya, soal Whoosh sih beliau nggak tanya ke saya pandangannya apa segala, nggak. Saya nggak komentar soal yang begituan. Wong saya udah pensiun, nggak punya kewenangan kok. Nggak, jangan. Nggak boleh,” tegasnya.
Ia justru menilai bahwa Presiden Prabowo memiliki pendekatan dan kebijakan tersendiri dalam mengelola proyek tersebut. “Nggak ada sama sekali. Saya pikir sih, mestinya beliau kan pasti punya kebijakan sendiri ya mengenai ini. Kan Whoosh-nya sendiri secara operasional bagus. Kalau yang lain-lain ya mungkin tanya beliau sendiri deh,” tambah Jonan.
Bayang-bayang Panjang Proyek Whoosh
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung sejatinya sudah menjadi bahan perdebatan sejak tahap perencanaannya. Seperti rel yang bercabang dua arah, proyek ini membawa antara ambisi kemajuan dan beban finansial yang terus menggelinding.
Dalam laporan keuangan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)—anak usaha PT KAI—per 30 Juni 2025 (unaudited), perusahaan mencatat kerugian hingga Rp 4,195 triliun sepanjang 2024. Artinya, dalam hitungan rata-rata, proyek tersebut membebani konsorsium BUMN hingga Rp 11,493 miliar per hari. Pada semester I-2025, kerugian tambahan sebesar Rp 1,625 triliun kembali tercatat, menandakan masalah keuangan masih terus bergulir seperti roda kereta yang belum menemukan remnya.
Kontroversi proyek ini bukan hal baru bagi Jonan. Saat menjabat sebagai Menteri Perhubungan di era Presiden Joko Widodo periode pertama, ia dikenal sebagai sosok yang menentang keras proyek kereta cepat. Jonan menilai penggunaan dana APBN untuk proyek tersebut tidak sesuai prinsip efisiensi dan aturan. Ia bahkan sempat menolak menerbitkan izin trase pada awal 2016 karena persoalan konsesi yang dianggap melanggar ketentuan hukum.
Menurut Jonan kala itu, konsesi KCJB seharusnya dihitung sejak penandatanganan kontrak, bukan sejak kereta mulai beroperasi, sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015 dan UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Ia menegaskan bahwa keputusannya hanyalah bentuk ketaatan pada hukum, bukan bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.
“Saya kira publik tidak pernah memahami UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan peraturan menteri yang mengikutinya. Kalau mereka tahu, mereka akan mengerti saya hanya menjalankan undang-undang,” kata Jonan ketika itu.
“Mereka sebagai pengusaha tentu akan minta kemudahan sebanyak-banyaknya. Kementerian BUMN tentu minta sebanyak-banyaknya, kita (Kementerian Perhubungan) yang harus mengaturnya,” tambahnya.
Kini, seiring berjalannya waktu, konsesi proyek KCJB bahkan diperpanjang menjadi 80 tahun. Sementara Jonan sendiri memilih menepi dari perdebatan yang dulu pernah membawanya ke pusaran politik dan ekonomi nasional.
Pertemuan dua jam antara Prabowo dan Jonan di Istana memang menjadi sorotan. Namun, bagi Jonan, momen itu bukan ajang politik atau forum evaluasi proyek lama. Ia hanya datang sebagai seorang warga yang masih peduli dengan arah kebijakan negeri, meski kini sudah tidak lagi berada di kursi kekuasaan.
Bisa jadi, seperti rel yang tetap kokoh meski keretanya telah berlalu, sikap Jonan menggambarkan prinsip yang tak berubah: menegakkan aturan, tanpa perlu mencari sorotan.
					





