Di tengah badai ketidakpastian global yang mengguncang pasar dunia, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memilih untuk tidak panik. Ia menilai guncangan ekonomi internasional bukanlah sesuatu yang baru, dan dampaknya terhadap perekonomian nasional tidak sebesar yang dikhawatirkan banyak pihak.
Purbaya menyebut, kekhawatiran publik terhadap ancaman krisis dunia ibarat bayangan panjang yang tampak menakutkan, padahal tak selalu nyata. Selama seperempat abad dirinya berkecimpung sebagai ekonom, gejolak ekonomi global, katanya, bukanlah hal luar biasa—ia justru bagian dari siklus alami dunia modern yang selalu berulang.
“Akhirnya saya simpulkan bahwa ini selalu terjadi. Jadi yang paling bagus bagi kita adalah menentukan kebijakan dalam negeri yang baik, sehingga walaupun global gonjang-ganjing kita nggak peduli,” kata Purbaya, dalam Rapat Kerja (Raker) Komite IV DPD RI di Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025).
Ia menekankan pentingnya membangun fondasi domestik yang kuat. Menurutnya, denyut ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh faktor internal daripada pengaruh luar negeri. Dengan kata lain, arah perekonomian nasional masih sangat bergantung pada kebijakan dan kinerja bangsa sendiri.
“Kita masih 80% menguasai arah ekonomi kita. Jadi saya selalu bilang, nasib kita di tangan kita sendiri. Kalau kita susah, salah kita sendiri karena 80% di tangan kita,” ujarnya.
Purbaya menggambarkan ekonomi global saat ini tidak sedang berada di titik suram. Bank Dunia bahkan masih memperkirakan pertumbuhan global akan berkisar di angka 2,3% hingga 2,4%. Menurutnya, kondisi likuiditas pasar internasional pun relatif longgar—tanda bahwa mesin ekonomi dunia masih berputar, meski tidak secepat sebelumnya.
Dalam paparannya, ia juga menyinggung dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan China—yang beberapa waktu terakhir menjadi sorotan pasar. Meski banyak analis memprediksi AS akan terseret krisis akibat tingginya suku bunga dan tumpukan utang, Purbaya melihat masih ada ruang bagi Negeri Paman Sam untuk bernapas lega.
Ia menilai langkah The Federal Reserve yang membuka opsi penurunan suku bunga dapat menjadi bensin baru bagi mesin ekonomi AS. “AS masih memiliki ruang yang sangat besar untuk mendorong perekonomiannya, salah satunya melalui penurunan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed,” ujarnya.
Sementara itu, mengenai China, Purbaya menilai negeri tirai bambu tersebut memiliki kemampuan luar biasa dalam menahan guncangan ekonomi. Sebagai negara dengan sistem ekonomi terpusat, pemerintah China memiliki kendali yang kuat untuk menstabilkan pasar saat menghadapi tekanan.
“Saya termasuk yang tidak percaya China akan jatuh dalam waktu dekat. Bahkan, kemarin ketika gonjang-ganjing mereka injek lagi ke sistem perekonomian ratusan miliar dolar. Jadi kelihatannya mereka masih akan bagus,” kata Purbaya.
Menurutnya, meski dunia masih dibayangi oleh konflik geopolitik seperti perang Rusia dan berbagai ketegangan lain, peluang untuk tumbuh tetap terbuka lebar. Ia mengibaratkan kondisi global seperti ombak laut yang besar—selama kapal ekonomi Indonesia cukup kokoh dan nakhodanya tangguh, maka arus luar tak akan mudah menenggelamkan.
“Walaupun ada perang Rusia, perang segala macam, ketika globalnya masih ada dan mendorong perekonomian, harusnya kita nggak usah takut. Kalau kita lihat sampai sekarang harusnya global tidak memperburuk prospek ekonomi kita,” sambungnya.
Purbaya menegaskan, kunci untuk bertahan bukanlah dengan menolak realitas global, melainkan menyiapkan strategi yang berpijak pada kekuatan sendiri. Ia menyebut kemandirian ekonomi sebagai tameng terbaik menghadapi badai global.
Dengan nada optimistis, Purbaya ingin mengingatkan bahwa Indonesia memiliki pijakan yang cukup kokoh. Selama arah kebijakan tetap berpihak pada stabilitas dan rakyat, maka gejolak di luar tak lebih dari riak kecil di permukaan air.
					





