Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mengeluarkan peringatan keras bahwa perang saudara di Sudan kini telah mencapai titik paling kelam dan nyaris mustahil dikendalikan. Dalam pernyataannya di sela KTT Dunia untuk Pembangunan Sosial di Qatar, ia menegaskan perlunya segera menghentikan pertumpahan darah dan mengembalikan para pihak yang bertikai ke jalur diplomasi.
“Krisis mengerikan di Sudan semakin tak terkendali,” ujar Guterres, dikutip The Guardian, Rabu (5/11/2025).
Ia menggambarkan kondisi di El-Fasher, Darfur Utara, sebagai “neraka kemanusiaan” di mana penderitaan manusia mencapai titik puncaknya.
“El-Fasher dan wilayah sekitarnya di Darfur Utara telah menjadi pusat penderitaan, kelaparan, kekerasan, dan pengungsian. Ratusan ribu warga sipil terjebak dalam pengepungan, banyak yang sekarat karena kekurangan gizi, penyakit, dan kekerasan,” lanjutnya.
Pernyataan Guterres itu mencuat setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF), kelompok paramiliter yang disebut-sebut mendapat bantuan dari Uni Emirat Arab (UEA), berhasil merebut kota El-Fasher pekan lalu. Kota tersebut jatuh setelah pengepungan selama hampir satu setengah tahun. Sejumlah rekaman yang beredar memperlihatkan tindakan brutal RSF terhadap warga sipil, termasuk serangan terhadap fasilitas medis dan rumah sakit bersalin.
Konflik yang telah berlangsung selama dua tahun antara militer Sudan (SAF) dan RSF kini berubah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling parah abad ke-21. Berdasarkan data PBB, lebih dari 150 ribu orang telah tewas dan sekitar 14 juta lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat aman. Jaksa Pengadilan Pidana Internasional (ICC) saat ini tengah mengumpulkan bukti adanya kejahatan perang, termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penyiksaan terhadap warga di wilayah El-Fasher.
Sementara itu, pemerintahan Sudan yang kini berbasis di Port Sudan dikabarkan sedang mempertimbangkan tawaran gencatan senjata dari Amerika Serikat (AS). Usulan tersebut mencakup jeda kemanusiaan selama tiga bulan sebelum menuju perundingan damai yang diharapkan bisa menghasilkan gencatan permanen serta masa transisi sembilan bulan menuju pemerintahan sipil.
Namun, pihak SAF bersikeras bahwa gencatan senjata hanya dapat terjadi jika RSF menarik seluruh pasukannya dari kota-kota besar, terutama El-Fasher. Tanpa itu, menurut militer Sudan, kesepakatan damai hanya akan menjadi “janji kosong” tanpa makna nyata.
Jatuhnya El-Fasher sendiri menandai babak baru dalam konflik Sudan. Kini RSF menguasai lima ibu kota negara bagian di wilayah Darfur, menimbulkan kekhawatiran bahwa negeri tersebut dapat terbelah menjadi dua entitas — timur di bawah SAF dan barat di bawah RSF.
Meski situasi politik kian genting, Duta Besar Sudan untuk Inggris, Babikir Elamin, menegaskan bahwa pemisahan bukanlah jalan keluar.
“Prioritas kami bukan gencatan senjata, tapi menghentikan pembantaian di el-Fasher,” kata Elamin di London.
Ia juga mendesak Amerika Serikat untuk segera menetapkan RSF sebagai organisasi teroris serta menghentikan seluruh pasokan senjata yang mengalir ke Uni Emirat Arab, yang diduga kuat mendukung kelompok bersenjata tersebut.
“RSF sekarang secara terbuka bersumpah melakukan kejahatan lebih lanjut. Mereka dengan bangga merekam diri mereka membunuh warga sipil tak berdosa,” ungkapnya.
Dalam pernyataan lanjutan, Elamin menuding RSF tetap melakukan kekejaman meskipun proses perdamaian tengah dijajaki.
“Apa gunanya berbicara damai sementara mereka masih menembaki rakyat?” ujarnya. “Komunitas internasional harus bertindak menghentikan kekejaman dan genosida ini sekarang.”
Pernyataan Elamin menggambarkan frustrasi mendalam pemerintah Sudan terhadap sikap dunia yang dinilai lamban merespons bencana kemanusiaan tersebut. Konflik yang awalnya merupakan perebutan kekuasaan kini menjelma menjadi krisis kemanusiaan besar-besaran, menelan korban jiwa, menghancurkan infrastruktur, dan memaksa jutaan warga hidup dalam pengungsian.
Dengan kondisi yang semakin memburuk, tekanan terhadap Dewan Keamanan PBB dan negara-negara besar kian meningkat untuk mengambil tindakan konkret. Seruan Guterres dan Elamin kini menjadi lonceng peringatan bagi dunia bahwa Sudan berada di tepi jurang kehancuran — di mana setiap hari keterlambatan berarti lebih banyak nyawa melayang.
Dalam konteks kemanusiaan global, tragedi Sudan menjadi cermin getir bagaimana dunia modern masih gagal mencegah terulangnya bencana yang menyerupai genosida. Saat rakyat di Darfur menunggu pertolongan, dunia seakan dihadapkan pada ujian moral: apakah akan tetap diam atau akhirnya bertindak sebelum terlambat.






