Industri baja Indonesia tengah menghadapi badai panjang yang tak kunjung reda. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap sederet persoalan mendasar yang menghambat laju sektor ini, mulai dari banjirnya baja impor hingga persoalan mesin-mesin pabrik yang sudah berumur senja.
Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menuturkan bahwa saat ini terdapat ketimpangan besar antara kapasitas produksi dalam negeri dengan kebutuhan baja nasional yang kian meningkat.
“Gap ini diisi oleh produk impor sekitar 55% kebutuhan nasional dan mayoritas dari China. Sementara utilisasinya industri baja kita sebesar 50% kurang lebih, sehingga industri baja nasional yang idle karena produknya tidak terserap pasar juga cukup banyak,” kata dia dalam RDP dengan Komisi VI DPR RI, Senin (10/11/2025).
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa industri baja nasional seolah menjadi penonton di negeri sendiri. Ketika pasar domestik terus tumbuh, justru produk asing yang mengisi ruang kosong tersebut. Kondisi ini ibarat seorang tuan rumah yang kehilangan kuasa di rumahnya sendiri—karena tamu yang datang membawa barang lebih murah dan bervariasi.
Fokus Produksi yang Belum Merata
Faisol menjelaskan bahwa salah satu akar masalahnya terletak pada struktur produksi yang terlalu sempit. Selama ini, industri baja dalam negeri lebih banyak memproduksi untuk sektor konstruksi dan infrastruktur. Padahal, sektor-sektor bernilai tinggi seperti otomotif, perkapalan, dan alat berat justru masih sangat terbatas kontribusinya.
“Padahal sektor-sektor ini memerlukan jenis baja dengan spesifikasi khusus seperti alloy steel atau special steel baja khusus yang memiliki potensi pasar besar baik di dalam negeri maupun luar negeri,” ungkapnya.
Dengan demikian, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk memperluas pasar baja ke sektor yang lebih modern dan bernilai tinggi. Namun, tanpa diversifikasi produk dan peningkatan teknologi, potensi itu akan tetap menjadi angan-angan di atas kertas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan, berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), terdapat 562 perusahaan produsen logam dasar (KBLI 24) serta 1.592 perusahaan produsen barang logam bukan mesin dan peralatannya (KBLI 25). Angka ini menggambarkan besarnya kapasitas industri baja nasional, namun tanpa efisiensi dan modernisasi, jumlah besar itu belum tentu berarti kekuatan nyata di pasar global.
Mesin Tua, Daya Saing Pun Tumpul
Selain persoalan pasar dan spesialisasi, tantangan lain yang menghantui industri baja Indonesia adalah usangnya mesin-mesin produksi. Banyak pabrik masih mengandalkan teknologi lama yang tidak hanya boros energi, tetapi juga berdampak negatif terhadap lingkungan dan kualitas produk.
“Sebagian besar produsen masih menghadapi tantangan dalam hal teknologi dan modernisasi peralatan produksi di mana sebagian besar mesin dan teknologi yang digunakan sudah berumur tua dan belum sepenuhnya ramah lingkungan. Kondisi ini mempengaruhi kualitas dan biaya produksi sehingga menjadi hambatan dalam upaya menuju industri baja yang punya daya saing, berkelanjutan, dan berstandar global,” terangnya.
Dalam konteks persaingan global, kondisi ini bisa diibaratkan seperti prajurit yang masih membawa pedang tumpul di medan perang modern. Ketika negara lain telah mengadopsi sistem otomatisasi dan teknologi hijau, industri baja RI justru masih bergulat dengan mesin tua yang haus energi.
Produksi Naik, Tapi Belum Cukup
Kemenperin mencatat capaian yang cukup menggembirakan dari sisi volume produksi. Indonesia berada di peringkat ke-14 dunia pada tahun 2024 dengan total produksi 18 juta ton baja, meningkat 110% dibanding tahun 2019. Namun, angka ini tetap jauh di bawah para raksasa industri seperti Tiongkok dan India.
“Kemudian di susul India sebesar 149,4 juta ton atau sekitar 7,9% produk dunia. Industri baja nasional saat ini menunjukkan tingkat rata-rata utilisasi sebesar 52,70%,” tutupnya.
Secara global, Tiongkok masih menjadi pemain utama dengan produksi 1,005 miliar ton baja kasar, atau lebih dari separuh produksi dunia (53,3%). Angka ini menunjukkan betapa dominannya negara tersebut dalam industri baja dunia—dan sekaligus menjelaskan mengapa produk mereka membanjiri pasar Indonesia.
Perlu Reformasi Besar-besaran
Melihat situasi tersebut, sudah jelas bahwa industri baja Indonesia membutuhkan reformasi menyeluruh. Modernisasi mesin, diversifikasi produk, serta proteksi terhadap pasar dalam negeri menjadi tiga kunci utama agar baja nasional kembali memiliki taji.
Tanpa langkah berani dan terukur, industri baja Indonesia akan terus berada di persimpangan: antara menjadi penopang pembangunan nasional atau sekadar penggembira dalam pasar yang dikuasai produk impor.






