Kurang dari Sepekan, Polisi Berhasil Bongkar Kasus Ledakan di SMAN 72

Sahrul

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan penghargaan moral kepada Polda Metro Jaya atas kecepatan dan ketepatan dalam mengungkap kasus ledakan yang mengguncang SMAN 72 Jakarta. Dalam kurun waktu kurang dari satu pekan, aparat kepolisian berhasil menyingkap tabir penyebab insiden yang sempat menimbulkan kepanikan luas di lingkungan pendidikan tersebut.

Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, menilai langkah cepat aparat penegak hukum menjadi contoh nyata bagaimana koordinasi dan profesionalitas dapat menghasilkan hasil penyelidikan yang efektif.
“Apresiasi kepada seluruh pihak yang hari ini sudah menyampaikan hasil dari penyidikan. Saya kira ini luar biasa, dalam waktu tidak sampai seminggu kita udah mendapatkan jawaban dari apa yang menjadi motivasi dan kondisi dan lain sebagainya,” ujar Margaret dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).

Menurutnya, upaya kepolisian tidak hanya patut diapresiasi dari sisi penyelidikan, tetapi juga dari sisi penanganan pascakejadian. KPAI memberikan penghargaan khusus kepada pihak-pihak yang telah sigap membantu proses pemulihan para korban, baik secara fisik maupun mental.
“Tentu kami fokus terkait bagaimana perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kasus ini. Utama adalah penanganan medis yang sudah dilakukan kepada yang menjadi korban mengalami luka fisik. Kedua penanganan psikologis yang sudah dilakukan dan dipastikan sudah berjalan dan dilakukan pada seluruh anak yang menjadi korban,” jelasnya.

Margaret menegaskan, fokus utama saat ini bukan sekadar pada pengungkapan kasus, melainkan pada pemulihan hak-hak anak yang terdampak, agar mereka bisa kembali beraktivitas tanpa trauma berkepanjangan. Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas lembaga, mulai dari dinas pendidikan, tenaga medis, hingga psikolog anak, menjadi kunci penting dalam memastikan kondisi para siswa kembali stabil.

Namun, KPAI juga menyoroti aspek hukum yang menyangkut siswa yang terlibat dalam kasus ini. Margaret menegaskan pentingnya pendekatan yang berperspektif anak dalam proses hukum terhadap pelaku yang masih di bawah umur atau dikenal sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
“Harus dipastikan bahwa ABH ini tidak mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dan juga apa yang dilakukan tentu berperspektif kepada anak. Tidak bisa disamakan perlakuannya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana hukum. Tentu yang tidak boleh ditinggalkan adalah pendampingan hukum dalam seluruh tahap atau proses pemeriksaan persidangan nanti,” tuturnya.

Dalam pandangan KPAI, penegakan hukum terhadap anak tidak boleh sekadar berorientasi pada hukuman, melainkan harus disertai proses pembinaan agar mereka dapat kembali ke jalur yang benar. Hal itu sejalan dengan semangat Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengutamakan pendekatan restoratif dibanding represif.

Lebih jauh, Margaret mengingatkan agar insiden ledakan di SMAN 72 menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan. Menurutnya, sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga lingkungan yang harus aman dan peduli terhadap kesehatan mental peserta didiknya.
“Satuan pendidikan tidak boleh abai terkait kesehatan mental anak-anak dan tidak boleh hanya fokus pada bagaimana kegiatan belajar berlangsung, tetapi juga perlu melakukan perhatian atau pengawasan terkait aktivitas anak ketika di luar jam belajar,” kata dia.

Ia menambahkan, pengawasan terhadap perilaku anak tidak cukup hanya dilakukan di ruang kelas. Di era digital, dunia maya kerap menjadi “ruang belakang” tempat anak-anak berinteraksi tanpa batas, sehingga perhatian orang tua dan guru menjadi mutlak.
“Kita selalu menyampaikan mari melakukan upaya penguatan pengawasan kepada aktivitas anak-anak kita, tidak hanya di dunia nyata tapi juga termasuk aktivitas di dunia siber atau medsos anak-anak,” imbuhnya.

Sebagai informasi, peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta terjadi pada Jumat (7/11/2025), bertepatan dengan waktu khotbah salat Jumat. Ledakan itu menyebabkan kepanikan di lingkungan sekolah dan mengakibatkan 96 orang menjadi korban, sebagian di antaranya mengalami luka fisik dan trauma psikologis.

Kini, setelah kasus berhasil diungkap dalam waktu singkat, perhatian publik bergeser pada langkah pemulihan serta peningkatan keamanan lingkungan sekolah. KPAI menilai, tragedi ini harus dijadikan pelajaran berharga agar sistem perlindungan anak di sekolah semakin kuat — bukan hanya dari ancaman fisik, tetapi juga dari gejolak mental yang tak kasat mata.

Also Read

Tags