Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membeberkan pendekatan yang ia sebut sebagai kunci dalam mengakselerasi perekonomian Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Uniknya, strategi tersebut bukan hanya bertumpu pada kebijakan fiskal maupun moneter, tetapi juga pada pengelolaan ekspektasi publik—sebuah konsep yang diangkat oleh ekonom Inggris, Roger Farmer, dalam bukunya The Macroeconomics of Self-fulfilling Prophecies.
Menurut Purbaya, pemikiran Farmer menekankan bahwa ekspektasi masyarakat dapat bekerja layaknya angin yang bisa mendorong layar perekonomian bergerak ke arah tertentu. Ketika harapan positif diciptakan dan diperkuat, maka perilaku konsumsi serta aktivitas usaha perlahan terbangun dan akhirnya menggerakkan roda ekonomi.
“Jadi, dia bilang gini, ekspektasi bisa mempengaruhi ekonomi. Kalau Anda menciptakan ekspektasi positif, maka ada kemungkinan besar ekonominya akan positif tumbuhnya,” ungkapnya dalam acara Ecoverse di Westin Hotel, Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).
Purbaya menuturkan bahwa sejak dirinya resmi ditunjuk Presiden Prabowo Subianto menjadi Menteri Keuangan, ia langsung mempraktikkan teori tersebut. Fokus utamanya adalah membentuk persepsi pasar bahwa kondisi ekonomi Indonesia mampu bergerak ke arah yang lebih cerah.
Ia mengaku sengaja menampilkan sikap percaya diri di hadapan publik, sebagai cara membangun optimisme pelaku usaha dan konsumen. “Jadi ketika saya diberi posisi Menteri Keuangan dengan keadaan ekonomi seperti itu, saya jaringan kebijakan tadi. Jadi bukan asal ngomong, pertama saya ciptakan ekspektasi. Gimana caranya? Saya berlagak sombong. Berlagak pinter. Memang sombong sama pinter sebetulnya juga sih. Jadi pas. Saya bilang, gak usah takut. Kita bisa tumbuh lebih baik,” jelasnya.
Namun strategi membentuk ekspektasi itu tidak berdiri sendiri. Pemerintah kemudian memperkuatnya dengan kebijakan konkret, salah satunya melalui penyuntikan dana besar ke perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Injeksi dana Rp200 triliun tersebut menjadi stimulus untuk mempercepat aktivitas pembiayaan hingga ke sektor produktif.
Purbaya menegaskan bahwa langkah itu mulai membuahkan hasil. Indikasi perbaikan terlihat dari peningkatan penjualan ritel, aktivitas pasar yang kembali ramai, hingga perbankan yang mulai agresif menyalurkan kredit setelah periode stagnasi.
“Setelah itu saya monitor, ada nggak perbaikan di ekonomi? Ternyata kan ada. Penjualan naik, retail mulai naik, pasar mulai ramai, dan bank-bank sudah menyalurkan kredit,” ujarnya.
Melihat dampaknya cukup signifikan, Purbaya kemudian menambahkan suntikan dana dengan jumlah yang sama. Hal ini dilakukan demi memastikan semua instrumen ekonomi bergerak serempak untuk mendorong pemulihan dan ekspansi perekonomian nasional.
“Saya tambah Rp 200 triliun. Akibatnya apa? Saya ekonomi yang suka campur-campur. Fiskal, moneter, saya pakai semuanya. Pokoknya memaksimalkan pertumbuhan ekonomi. Yang saya mau jalankan adalah supaya fisikal jalan, monitor jalan, riil sektor jalan,” pungkasnya.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi tak selalu berupa rumus matematis atau instrumen teknokratis. Ada kalanya, seperti kata Purbaya, kepercayaan publik adalah bahan bakar yang lebih cepat menyalakan mesin ekonomi—terutama ketika disokong oleh tindakan fiskal yang berani dan terukur.






