Kinerja penerimaan pajak hingga Oktober 2025 kembali menjadi sorotan setelah laporan resmi menunjukkan penurunan cukup tajam. Anjloknya setoran pajak memunculkan dua narasi berbeda dari pucuk pimpinan instansi fiskal: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dan Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa.
Dalam pemaparannya di hadapan Komisi XI DPR RI pada rapat kerja di Jakarta, Senin (24/11/2025), Bimo menyoroti satu faktor utama sebagai penyebab melemahnya capaian penerimaan negara: lonjakan restitusi pajak. Ia menilai gelombang pengembalian pajak yang mekar hingga 36,4 persen menjadi batu sandungan yang membuat penerimaan bersih tergerus.
Menurut Bimo, meski perolehan pajak kotor mulai menunjukkan arah pemulihan, hasil akhir tetap tidak menggembirakan. “Dampaknya, walaupun penerimaan pajak brutonya sudah mulai positif, penerimaan netonya masih mengalami penurunan,” kata Bimo.
Restitusi Pajak Melejit, Tekan Penerimaan
Secara nilai, restitusi pajak yang didistribusikan negara mencapai Rp340,52 triliun. Komponen terbesar berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang menyentuh Rp93,80 triliun, melonjak sekitar 80 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sementara restitusi dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri berada di angka Rp238,86 triliun atau tumbuh 23,9 persen. Jenis pajak lainnya juga meningkat 65,7 persen menjadi Rp7,87 triliun.
Meski mengaku bahwa membesarnya angka restitusi telah menahan kecepatan penerimaan pajak, Bimo menekankan dampak positifnya terhadap aktivitas perekonomian. “Restitusi ini artinya uang kembali ke masyarakat, sehingga dengan restitusi dan kas yang diterima oleh masyarakat, termasuk sektor swasta, tentu bertambah dan bisa meningkatkan aktivitas geliat perekonomian,” ujarnya.
Laporan APBN hingga Oktober 2025 mencatat realisasi pajak neto sebesar Rp1.459,03 triliun atau baru 70,2 persen dari target. Jika dijabarkan, PPh Badan terkoreksi 9,6 persen menjadi Rp237,56 triliun, sedangkan PPh orang pribadi dan PPh 21 terpangkas 12,8 persen menjadi Rp191,66 triliun. Kelompok PPh final, PPh 22, dan PPh 26 juga turun tipis 0,1 persen menjadi Rp275,57 triliun. Untuk PPN dan PPnBM, koreksinya mencapai 10,3 persen dengan realisasi Rp556,61 triliun. Adapun pajak lainnya tercatat Rp197,61 triliun.
Purbaya: Masalah Utamanya Bukan Restitusi, tapi Ekonomi Melemah
Berbeda dengan Bimo yang menunjuk restitusi sebagai biang kerok, Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa menyampaikan penjelasan yang jauh berlainan. Dalam video di akun TikTok resminya, ia menegaskan bahwa tantangan terbesar justru berada pada kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Ia menyebut target pajak 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun sulit dikejar bukan karena kebijakan pengembalian pajak, tetapi karena lembaran ekonomi global dan domestik yang masih kusut. “Makanya target Anda susah dicapai, saya pernah bilang di meeting besar, bukan salah orang pajak itu tidak tercapai, karena ekonominya turun,” kata Purbaya.
Purbaya mengingatkan masyarakat bahwa tekanan ekonomi dunia memengaruhi hampir seluruh komponen penerimaan fiskal. Meski begitu, ia tetap memotivasi jajaran Direktorat Jenderal Pajak untuk bekerja optimal. Ia menilai perbaikan ekonomi mulai terlihat dan memberi harapan untuk percepatan penerimaan ke depan. “Mudah-mudahan nanti pajaknya agak membaik sedikit. Saya harapkan target-target bisa tercapai,” ujarnya.
Tidak berhenti di situ, Purbaya juga menyatakan optimisme bahwa kondisi fiskal tahun 2026 akan lebih cerah, seiring keyakinannya bahwa ekonomi nasional mulai mendapatkan kembali momentumnya.
Potret Penerimaan: Anjlok di Banyak Sisi, Sebagian Masih Tumbuh
Data menunjukkan bahwa per September 2025, setoran pajak berada di angka Rp1.295,3 triliun—menurun 4,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini terutama dipicu oleh tiga kelompok pajak utama, yaitu PPh Badan, PPN, dan PPnBM.
Purbaya kembali menggarisbawahi faktor eksternal sebagai sumber tekanan. Ia menyebut jatuhnya harga komoditas global, termasuk batu bara dan kelapa sawit, menjadi penyebab utama melemahnya PPh Badan. “Penurunan harga komoditas di pasar global, seperti batu bara dan sawit memicu anjloknya penerimaan PPh Badan. Dan, PPN dalam negeri sedikit tertahan, namun manufaktur dan jasa masih berkontribusi positif terhadap penerimaan,” kata Purbaya.
Tercatat, PPh Badan merosot 9,4 persen menjadi Rp215,10 triliun, sementara PPN dan PPnBM mengalami kontraksi 13,2 persen menjadi Rp474,44 triliun. Meski begitu, tidak semua komponen mengalami penurunan. PPh Orang Pribadi masih tumbuh pesat 39,8 persen mencapai Rp16,82 triliun, sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan meningkat 17,6 persen menjadi Rp19,50 triliun.
Dua Sudut Pandang, Satu Tantangan
Perbedaan narasi antara Dirjen Pajak dan Menkeu mencerminkan betapa kompleksnya persoalan fiskal nasional. Di satu sisi, restitusi yang melejit dapat menggerus penerimaan jangka pendek, namun memberi dorongan likuiditas bagi dunia usaha. Di sisi lain, kondisi ekonomi global yang penuh tekanan membuat perusahaan dan individu menahan laju bisnis, sehingga berimbas pada turunnya setoran pajak.
Pada akhirnya, baik Bimo maupun Purbaya sepakat bahwa pemulihan ekonomi adalah kunci memperbaiki penerimaan negara. Dengan berbagai indikator yang mulai memperlihatkan tanda pemulihan, pemerintah berharap tahun depan angin segar bisa kembali berhembus ke kas negara.






