Banjir Bandang Menerjang Tapteng, Puluhan Warga Bertahan di Hutan Menunggu Pertolongan

Sahrul

Bencana alam kembali menghantam Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, ketika banjir bandang mendadak menggulung kawasan permukiman pada Selasa malam. Peristiwa yang berlangsung cepat seperti “air bah yang datang tanpa mengetuk pintu” itu membuat sekitar 50 warga terpaksa melarikan diri ke area hutan di perbukitan untuk mencari tempat aman. Di antara para penyintas itu terdapat bayi, warga lanjut usia, hingga penduduk dengan kondisi kesehatan rentan.

Sebuah rekaman video yang diterima detikSumut memperlihatkan situasi mencekam di dalam hutan pada Rabu (26/11/2025). Dalam tayangan tersebut terlihat puluhan orang berlindung seadanya dengan jas hujan, payung, hingga plastik yang digunakan sebagai penutup tubuh. Hujan yang tidak kunjung berhenti membuat lokasi itu semakin gelap dan lembap, sementara suara gemuruh air dari bawah bukit terus terdengar.

Mereka yang terjebak datang dari berbagai kelompok usia, mulai dari anak muda hingga para orang tua. Ketegangan terasa jelas melalui teriakan meminta pertolongan yang terus menggema di tengah rimbunnya pepohonan.

Salah satu pria yang merekam video itu berteriak memohon bantuan.
“Pak Bupati tolong kami dulu di sini, kami sudah di tengah hutan ini, kiri kanan sudah longsor Pak Bupati, nggak ada lagi jalan keluar,” katanya dalam rekaman.

Tak berselang lama, suara seorang perempuan lanjut usia terdengar menangis histeris, menandakan kondisi campur aduk antara ketakutan dan kelelahan.
“Tolong kami, tolong” teriak wanita tua itu sambil menangis.

Keluarga Terjebak Tanpa Bekal, Termasuk Bayi dan Penderita Stroke

Rosmawati Zebua (30), salah satu kerabat korban yang terjebak, menjelaskan bahwa insiden tersebut terjadi di Desa Huta Bolon, Kecamatan Tukka. Ia mengungkapkan bahwa ada tujuh anggota keluarganya yang ikut terperangkap di hutan, mulai dari ibunya, dua adiknya, abang dan istri, hingga kedua anak sang abang—salah satunya masih bayi. Seorang tetangga yang lumpuh turut dievakuasi bersama mereka.

“Iya, itu keluarga saya, ada tujuh orang di situ keluarga saya. Mama, adik saya cowok satu, cewek satu, abang saya yang sudah menikah sama istrinya dan dua orang anaknya. Itu ada anak bayi satu, ada lansia juga, ada juga tetangga yang lumpuh diangkat ke atas itu,” tutur Rosmawati.

Menurut adik Rosmawati yang merekam video, sekitar 50 warga tengah bertahan di dalam hutan. Komunikasi terakhir terjadi sekitar pukul 09.30 WIB melalui video call. Saat itu, keluarganya sudah menyingkir dari kampung tanpa membawa apa pun—tak ada bekal, pakaian cadangan, atau makanan, karena banjir besar datang begitu cepat dan melahap seluruh akses jalan.

Rosmawati mengulang pesan keluarganya:
“Kata mereka pas itu ‘banjir bandang sudah mengadang semua, sudah tenggelam seperti lautan, makanya kami lari ke atas, tanpa bawa satu apapun, udah nggak sempat lagi, hanya bawa badan’,” ujarnya.

Dari Jakarta, Rosmawati meminta rekaman tambahan untuk dipublikasikan agar lebih banyak pihak mengetahui kondisi keluarganya. Namun pada pukul 11.00 WIB, komunikasi mereka terputus akibat jaringan di wilayah tersebut kolaps.

Ketidakpastian itu membuat benaknya dipenuhi kekhawatiran. Ia membayangkan keluarganya berada dalam kondisi lelah, kelaparan, dan kedinginan di bawah naungan hutan. Ia bahkan telah menghubungi Basarnas untuk meminta upaya penyelamatan.

“Pasti saat ini mereka sudah kelaparan, kedinginan dan tidak ada stok makanan. Bagaimana mereka bisa bertahan di sana?,” ungkap Rosmawati.

Sebelum Banjir, Warga Sudah Mengungsi ke Gereja

Rosmawati menjelaskan bahwa keluarganya sebenarnya telah melakukan langkah pencegahan. Pada Sabtu (22/11) malam, mereka telah mengungsi lebih dulu ke Gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) di Huta Bolon setelah mendapat peringatan dari BPBD terkait potensi longsor. Posisi gereja yang berada di dataran lebih tinggi membuat warga menilai lokasi tersebut cukup aman.

Namun pada Selasa pagi, air mulai merangsek masuk ke pemukiman. Warga tidak menduga banjir kali ini akan menjadi yang terburuk. Pada kejadian sebelumnya, air jarang mencapai rumah, apalagi menenggelamkan bangunan.

Nyatanya, banjir bandang menerjang seperti “dinding air” yang menghantam dari arah sungai. Rumah-rumah warga, termasuk gereja tempat mereka mengungsi, ikut tersapu banjir sehingga jalan satu-satunya adalah berlari ke hutan.

“Setelah banjir bandang itu, mereka sudah nggak bisa menyeberang (ke desa), jadi larinya ke atas (hutan),” jelasnya.

Harapan Terakhir: Evakuasi dari Pemerintah dan Tim Penyelamat

Hingga kini, Rosmawati masih menunggu kabar apa pun dari kampung halaman. Ketidakjelasan mengenai kondisi keluarganya membuat ia hanya bisa berharap pemerintah daerah segera bertindak.

“Harapan saya keluarga saya diselamatkan dari sana, setidaknya saya tahu aja gimana kabarnya. Dengan kabarnya saja, saya sudah senang. Kemarin saya kira bisa langsung ada bantuan, tapi ternyata sampai sekarang belum ada sama sekali dan mereka juga kita sudah tidak tahu mereka masih ada atau tidak di atas sana, semoga pemerintah bisa membantu keluarga saya,” pungkasnya.

Also Read

Tags