Permintaan mantan prajurit marinir, Satria Arta Kumbara, untuk kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) tengah menuai perhatian publik dan memicu perdebatan hangat di kalangan wakil rakyat. Pasalnya, Satria diketahui pernah bergabung dengan militer Rusia, sebuah keputusan yang berpotensi menggugurkan status kewarganegaraannya di Indonesia.
Langkah Satria yang viral di media sosial ini menuai ragam respons dari berbagai pihak, terutama anggota DPR. Pria tersebut mengaku bahwa keputusannya bergabung dengan tentara asing bukan atas dasar ideologi atau pengkhianatan, melainkan murni karena tuntutan ekonomi.
“Mohon izin Bapak. Saya ingin memohon maaf sebesar-besarnya apabila ketidaktahuan saya menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia mengakibatkan dicabutnya warga negara saya,” kata Satria, Selasa (22/7/2025).
“Mohon izin, saya tidak pernah mengkhianati negara sama sekali karena saya niatkan untuk datang ke sini hanya untuk mencari nafkah,” kata dia.
Kemlu Serahkan ke Kemenkumham
Menanggapi pengakuan dan permintaan Satria, pihak Kementerian Luar Negeri belum memberikan sikap langsung. Juru bicara Kemlu, Rolliansyah Soemirat, menegaskan bahwa persoalan ini berada di bawah yurisdiksi instansi lain.
“Mengenai status kewarganegaraan yang bersangkutan, hal tersebut menjadi ranah kewenangan Kementerian Hukum,” kata Rolliansyah kepada wartawan, Selasa (22/7).
Komisi XIII DPR Minta Penelusuran Menyeluruh
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, mengaku keheranan dengan situasi ini. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seorang eks anggota TNI bisa bergabung dengan angkatan bersenjata negara asing dan terlibat dalam konflik yang bukan bagian dari kebijakan negara sendiri.
“Ini jarang terjadi. Kok bisa ada marinir TNI yang bergabung dengan pasukan negara lain dan berperang untuk negara lain,” ujar Andreas kepada wartawan, Selasa (22/7).
Lebih lanjut, Andreas mengingatkan bahwa tindakan tersebut berseberangan dengan nilai-nilai dasar keprajuritan di Indonesia. Ia menyebut bergabungnya Satria ke tentara Rusia melanggar prinsip yang dipegang oleh prajurit TNI.
“Pertama, ini pasti melanggar sumpah Sapta Marga prajurit. Yang kedua, sistem keprajuritan kita tidak mengenal tentara bayaran,” kata Andreas.
Ia pun menyoroti regulasi yang secara tegas mengatur mengenai status kewarganegaraan jika seseorang memilih mengabdi ke militer negara asing.
“UU No 12 Tahun 2006 Bab IV Pasal 23 Poin d dan e mengatur seseorang kehilangan kewarganegaraan apabila ‘masuk dalam dinas tentara negara asing tanpa izin dari presiden’ dan ‘secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh WNI’,” ucapnya.
Andreas menekankan pentingnya investigasi yang tuntas dari Kementerian Luar Negeri dan instansi militer yang pernah menaungi Satria. Ia menilai keputusan soal permohonan tersebut tidak bisa diambil secara tergesa-gesa.
“Oleh karena itu, Kemlu dan terutama institusi marinir kesatuan dari mana sang marinir harus menyelidiki benar kasus ini sebelum membuat keputusan,” ungkapnya.
Komisi I DPR Serukan Kehati-hatian
Senada dengan Andreas, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono meminta agar kasus ini ditangani dengan penuh kehati-hatian, dan tidak sekadar mempertimbangkan aspek permintaan individu semata.
“Saya memandang isu ini perlu disikapi secara cermat dan berlandaskan prinsip hukum, nasionalisme, serta komitmen terhadap integritas kewarganegaraan Indonesia,” kata Dave kepada wartawan, Selasa (22/7).
Menurutnya, seseorang yang memilih bergabung dengan militer asing tanpa restu negara telah membuka celah hukum yang memungkinkan pencabutan status WNI.
“Karena itu, perlu dipastikan secara administratif apakah yang bersangkutan sudah kehilangan atau melepaskan kewarganegaraannya sesuai aturan hukum,” ujarnya.
Dave menegaskan bahwa loyalitas terhadap Indonesia harus menjadi tolok ukur utama dalam menentukan langkah selanjutnya. Latar belakang militer seseorang justru menjadi penentu penting karena menyangkut tanggung jawab terhadap kedaulatan negara.
“Kami mendukung koordinasi antara Kemenkumham, Kemenlu, dan Mabes TNI untuk menetapkan langkah hukum dan administrasi yang sesuai. Prinsip kehati-hatian perlu diterapkan agar keputusan yang diambil tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, maupun prinsip kedaulatan negara,” jelasnya.
“Secara prinsip, Komisi I tidak akan memberikan toleransi terhadap tindakan yang berpotensi mengganggu integritas negara. Namun, kami juga menjunjung tinggi asas due process dalam setiap penegakan hukum dan kebijakan publik,” imbuh dia.
PAN Tegas Menolak: Ini Soal Martabat Bangsa
Sikap lebih keras disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN, Farah Puteri Nahlia. Ia menyatakan dengan lugas bahwa permohonan Satria sulit diterima, karena menyangkut wibawa hukum dan kehormatan negara.
“Dalam menyikapi permohonan yang bersangkutan, sudah sepatutnya kita mengedepankan perspektif kepentingan nasional di atas pertimbangan lainnya. Penegakan supremasi hukum harus menjadi landasan utama,” ujar Farah kepada wartawan, Selasa (22/7/2025).
Farah mengingatkan bahwa Satria pernah dijatuhi vonis oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta karena terbukti desersi sejak pertengahan 2022. Selain itu, pemecatannya dilakukan tanpa kehormatan dan telah berkekuatan hukum tetap.
“Hukum kewarganegaraan kita tidak mengenal dalih ‘ketidaktahuan’, terutama bagi mereka yang pernah bersumpah menjaga kedaulatan negara. Ini adalah soal penegakan aturan dan martabat bangsa,” tegas Farah.
Ia juga menilai bahwa bekas anggota militer seperti Satria mestinya memahami betul makna ikrar dan sumpah kesetiaan terhadap Tanah Air.
“Alasan ‘tidak tahu’ sulit diterima dari seseorang yang pernah berikrar untuk setia kepada NKRI di atas segalanya. Sumpah Prajurit dan Sapta Marga merupakan ikrar tertinggi seorang abdi negara,” ujarnya.