Dalam sepekan terakhir, sejumlah SPBU non-Pertamina menghadapi masalah serius: stok bensin yang kian menipis, bahkan ada jenis bahan bakar yang benar-benar habis sehingga tak mampu melayani pelanggan. Kondisi ini terutama dialami oleh jaringan BP-AKR dan Shell, dua pemain asing di pasar energi Indonesia.
Para konsumen setia BP-AKR pun merasa kecewa. Mereka yang biasanya mengisi tangki di sana kini harus menelan kekecewaan karena jenis bensin yang dicari tak lagi tersedia. Untuk diketahui, BP-AKR adalah hasil kolaborasi British Petroleum (BP) dengan PT AKR Corporindo Tbk (AKR) yang resmi berdiri sejak 2017.
Nasib serupa juga dialami jaringan SPBU Shell. Pelanggan terpaksa mengarahkan kendaraan ke stasiun pengisian lain karena pompa mereka kehabisan pasokan. Shell sendiri merupakan perusahaan energi global asal Belanda yang beroperasi di Indonesia melalui kerja sama antara Citadel Pacific Limited sebagai pemegang lisensi merek Shell, dan Sefas Group Indonesia sebagai mitra distribusi pelumas.
Perubahan Aturan Impor Jadi Pemicu
Fenomena kelangkaan ini bukan tanpa sebab. Sumber masalahnya bermula dari kebijakan baru yang diterapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait mekanisme impor BBM.
Jika sebelumnya izin impor diberikan untuk jangka waktu satu tahun, kini aturan berubah menjadi hanya enam bulan sekali dengan evaluasi rutin setiap tiga bulan. Itu berarti perusahaan wajib memperbarui izin lebih sering, lengkap dengan laporan berkala kepada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.
Selain itu, syarat perizinan juga semakin ketat. Perusahaan tak hanya butuh izin usaha niaga, tetapi juga mesti memiliki izin usaha pengolahan dan siap melaporkan aktivitasnya kapan pun diminta. Rantai birokrasi yang panjang ini pada akhirnya memperlambat pasokan impor, sehingga distribusi bensin di lapangan ikut tersendat.
Dampak di Lapangan
Akibat aturan baru ini, SPBU asing yang mengandalkan suplai impor ibarat perahu yang kehilangan angin layar—lambat, goyah, dan terhambat. Sementara itu, para pengguna jalan yang biasa mengisi bahan bakar di sana harus mencari alternatif lain, kebanyakan berpindah ke SPBU Pertamina.
Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya rantai distribusi energi jika bergantung pada mekanisme impor. Saat perizinan diperketat, pasokan ikut tercekik, dan konsumen pun terkena imbasnya langsung.
Pertanyaan yang Menggantung
Di balik kebijakan ESDM tersebut, muncul pertanyaan besar: apa tujuan sebenarnya dari perubahan aturan ini? Apakah pemerintah ingin memperkuat kontrol terhadap impor BBM, menekan ketergantungan pada pasokan asing, atau ada faktor lain yang lebih strategis?
Satu hal yang pasti, kebijakan baru ini telah menimbulkan efek domino. SPBU asing kehilangan pasokan, konsumen kecewa, dan publik pun bertanya-tanya apakah keputusan ini benar-benar untuk kepentingan energi nasional atau justru menciptakan masalah baru.