Kisah nyaris maut kembali datang dari lereng Gunung Rinjani, salah satu destinasi pendakian terpopuler di Indonesia. Seorang pria asal Irlandia bernama Paul Farrell, yang berusia 32 tahun, membagikan pengalamannya yang menggetarkan jiwa ketika nyawanya hampir direnggut oleh jurang pada Oktober 2023 silam.
Peristiwa tersebut nyaris mencerminkan insiden tragis yang menimpa Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang kehilangan nyawa setelah jatuh di lokasi serupa pada Sabtu, 21 Juni 2025. Nasib Farrell, bagaimanapun, berkata lain. Ia kembali pulang ke dunia dengan tubuh yang masih utuh dan napas yang masih bisa dihela.
Perjalanan yang Awalnya Biasa Saja
Farrell memulai petualangannya dari base camp di pagi hari. Jalur awal yang ia lewati terasa bersahabat, tidak menyiratkan adanya bahaya besar yang menanti di depan. Namun, saat mendekati puncak, lanskap berubah menjadi lebih menantang.
“Tanah di sana berbeda, saya melangkah maju satu langkah tapi mundur dua langkah. Karena kami berada di gunung berapi, tanahnya berpasir dan kaki bisa tenggelam,” ungkap Farrell dalam wawancara bersama BBC News Brasil.
Sesudah mencapai puncak, gangguan kecil justru menjadi pemicu bencana. Batu-batu kecil yang masuk ke dalam sepatu membuatnya tidak nyaman. Untuk menyingkirkan gangguan itu, ia melepas sepatu dan sarung tangan. Namun, langkah kecil tersebut berbuntut panjang.
“Karena tidak nyaman, saya memutuskan untuk melepas sepatu kets untuk mengeluarkan kerikil. Saya juga melepas sarung tangan agar leluasa mencopot sepatu,” ujarnya.
Angin gunung yang tak bersahabat menyapu sarung tangannya, dan dalam posisi berlutut, tempat ia berpijak justru runtuh seketika.
“Pada saat itu, saya berlutut. Tanah tempat saya berdiri runtuh begitu saja,” katanya.
Terjun Bebas dari Ketinggian 200 Meter
Farrell terhempas dari lereng gunung, meluncur bebas seperti daun yang terseret badai. Tanpa kendali, tubuhnya jatuh sejauh hampir dua lapangan sepak bola.
“Kecepatan saya jatuh makin cepat, adrenalin terpompa. Saya segera menyimpulkan bahwa saya bisa mati kapan saja,” ujarnya.
Dalam kepanikan, insting bertahan hidup mengambil alih. Ia berusaha mencengkeram apa pun — bebatuan, akar, atau gundukan tanah — untuk memperlambat jatuhnya.
“Saya mencoba menancapkan kuku dan tangan saya ke apa saja, hanya untuk memperlambat. Sampai saya melihat sebuah batu besar dan saya mencoba mengalihkan jalan saya ke arah batu itu,” ucapnya.
“Saya menabrak batu itu, tetapi untungnya saya berhasil menghentikan laju jatuh,” imbuhnya.
Berada di kedalaman sekitar 200 meter, ia baru menyadari bahwa dirinya hanya mengalami luka ringan dan goresan kecil. Namun posisi Farrell masih sangat rawan — satu gerakan keliru bisa membuatnya meluncur kembali ke bawah.
“Meski begitu, saya tidak aman. Di tempat itu, saya bisa terpeleset kapan saja.”
Diselamatkan Setelah Enam Jam Menanti
Farrell tidak sendiri saat itu, namun rombongan pendakian terpisah. Satu-satunya orang yang cukup dekat dengannya adalah pendaki perempuan asal Prancis.
“Saya berteriak sekuat tenaga agar dia mencari anggota tim lainnya dan meminta bantuan. Kemudian dia berlari kembali ke base camp dan memperingatkan orang-orang,” jelasnya.
Dalam kondisi terjebak di batu sempit, ia menunggu selama lima hingga enam jam sebelum akhirnya pasukan penyelamat datang mengevakuasi.
“Itu jelas pengalaman yang sangat menakutkan. Saya berdoa kepada Tuhan agar saya bisa keluar dari sana hidup-hidup, atau hanya dengan beberapa tulang yang patah.”
“Sejujurnya, saya rela mematahkan lengan, kaki, atau semua tulang saya untuk keluar dari situasi itu. Jika saya perlu membuat perjanjian dengan Tuhan atau Iblis untuk keluar dari sana hidup-hidup, saya akan melakukannya,” ujar dia lagi.
Tim penyelamat yang mengevakuasi Farrell ternyata berada di area yang sama karena tengah menjalankan misi pencarian jenazah pendaki lain — suatu kebetulan pahit yang justru membawa pertolongan baginya.
Evaluasi Jalur dan Harapan Perbaikan
Usai kejadian, Farrell mengungkapkan perasaan syukur karena berhasil bertahan hidup.
“Saya sangat bersyukur dan bersemangat,” ungkapnya.
“Saya suka adrenalin dan olahraga ekstrem, tetapi situasi ini hampir membuat saya jera,” ujar dia.
Farrell juga menyampaikan masukan terkait perlunya perbaikan sistem keselamatan di jalur pendakian Rinjani.
“Pertama-tama, saya ingin berduka cita atas meninggalnya Juliana dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarganya,” tutur Farrell.
“Terkait peningkatan [keamanan], kita perlu mempertimbangkan bahwa Indonesia adalah negara miskin dengan sedikit sumber daya. Namun, tentu saja harus ada lebih banyak uang diinvestasikan untuk meningkatkan keamanan di sana,” katanya.
“Mereka dapat menaikkan biaya yang dikenakan untuk mengunjungi lokasi tersebut.”
“Atau memastikan setiap kelompok memiliki setidaknya dua pemandu, sehingga salah satu dari mereka tetap berada di belakang dan dapat menawarkan semacam dukungan kepada orang-orang yang merasa tidak enak badan dan tertinggal, seperti yang terjadi pada Juliana,” saran Farrell.
Refleksi Diri dan Pandangan Baru
Meski mengalami trauma yang tidak kecil, Farrell menyatakan niat untuk kembali mendaki Gunung Rinjani suatu hari nanti.
“Tidak diragukan lagi. Tapi saya akan lebih berhati-hati saat mendaki (Gunung Rinjani) kedua kalinya. Mendaki gunung adalah sesuatu yang ingin saya lakukan selama sisa hidup saya, selama saya masih mampu,” kata Farrell.
Pengalaman jatuh dari jurang ternyata memberinya pandangan baru tentang arti kehidupan.
“Sangat jarang orang selamat dari kecelakaan seperti ini, sayangnya. Namun, ketika saya masih hidup setelah mengalami (jatuh di Gunung Rinjani), saya mulai berpikir tentang apa yang benar-benar penting,” katanya.
“Sejak kecelakaan saya, hubungan saya dengan Tuhan menjadi jauh lebih baik. Sekarang saya mencoba menjalani hidup dengan lebih selaras dengan nilai-nilai yang benar-benar penting bagi saya,” ujar dia lagi.