Wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendorong penambahan sokongan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk partai politik (parpol) mendapat sambutan hangat dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf. Ia memandang, ide tersebut menyentuh akar persoalan serius dalam dunia politik Indonesia, yakni mahalnya ongkos politik menjelang pemilu dan pilkada.
“Saya pikir apa yang disampaikan oleh KPK itu berarti merupakan sebuah gagasan yang juga menjadi suatu masalah bagi pendanaan partai. Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk membiayai partai terutama untuk menghadapi pemilu, pilkada membutuhkan biaya yang besar,” kata Dede kepada wartawan, Rabu (21/5/2025).
Menurut Dede, fenomena praktik politik transaksional yang makin menjamur menjadi sinyal bahaya bagi demokrasi. Para kandidat, baik yang maju sebagai anggota legislatif maupun kepala daerah, kerap mencari dukungan finansial dari pemilik modal besar karena tuntutan biaya kampanye yang kian mencekik.
“Sementara kalau kita melihat budaya money politic yang berada di tengah masyarakat itu makin hari makin tinggi, maka akan sangat jelas sekali bagi para kandidat apakah itu caleg atau apakah itu calon-calon kepala daerah untuk mencari pendanaan dari penyandang dana atau kita sebut pengusaha, atau mungkin konglomerat. Tentu saja ini menjadikan komitmen terbesar mereka pada penyandang dana tersebut, bukan kepada rakyat,” tutur dia.
Melihat kondisi tersebut, Dede mengapresiasi usulan KPK yang menurutnya bisa menjadi angin segar bagi partai politik. Ia menyebut, suntikan dana dari negara mampu meredakan tekanan finansial yang selama ini memaksa sebagian kader bermain dalam proyek pemerintah demi menyambung napas partai.
“Itu sebabnya salah satu pemikiran yang sudah disampaikan oleh pemerintah melalui KPK maupun Kemendagri untuk meningkatkan pembiayaan partai, kami menyambut baik. Dan saya pikir itu sesuatu yang membuat partai-partai bisa bernapas lega, daripada kader-kader yang akhirnya harus bermain-main proyek-proyek melalui APBN atau APBD,” tutur dia.
Namun demikian, Dede menekankan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan dana tersebut. Ia mengingatkan bahwa alokasi dana harus diarahkan untuk kebutuhan esensial seperti pelatihan kader, penguatan struktur internal, serta keperluan logistik pemilu.
“Yang kedua, pendanaan ini juga harus melihat penggunaannya untuk apa. Salah satunya tentu adalah untuk pelatihan, pembinaan, pendidikan bagi para kader-kader, kemudian ada lagi yang disebut sebagai saksi itu yang memberikan cost yang cukup tinggi dan logistik,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, bila dana tambahan ini dikucurkan, penggunaannya harus dijalankan secara masuk akal dan penuh tanggung jawab. Transparansi harus dijaga melalui audit oleh lembaga independen yang ditunjuk negara.
“Pemberian tambahan alokasi anggaran dari negara tentunya harus dilihat dengan kata-kata yang wajar, karena di tengah efisiensi yang ada tentu juga harus dipikirkan bagaimana transparansinya, bagaimana pertanggungjawabannya melalui akuntan publik yang ditunjuk oleh negara,” tutur dia.
Walau menyambut baik, Dede menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan resmi di Komisi II DPR terkait usulan tersebut. Fokus utama komisi saat ini masih tertuju pada penyempurnaan sistem pemilu.
“Kalau dari Komisi II belum ada pembahasan terkait ini, karena kami masih fokus tentang bagaimana sistem pemilu ke depan, dan saat ini belum ditunjuk oleh pimpinan DPR apakah dibahas di Baleg ataupun di Komisi II. Nah nanti tentu masukan-masukan dari pemerintah seperti dari KPK dari Kemendagri, bisa kita berikan dalam UU Pemilu yang baru berikutnya,” tutur Dede.
Ia pun menggarisbawahi bahwa perbaikan dalam pembiayaan parpol harus dibarengi dengan reformasi menyeluruh terhadap sistem pemilu. Tanpa perubahan sistem, biaya politik akan tetap melambung dan membuka celah bagi praktik menyimpang.
“Tapi catatan juga ini bukan sekedar pembiayaan, sistem kepemiluan juga harus melakukan perbaikan. Karena kalau kita masih menggunakan sistem yang sama seperti kemarin, tentu cost of money, atau money politic terlalu tinggi, itu sudah dibuktikan melalui pilada, kepemiluan yang mengambil pembiayaan yang sanat tinggi,” imbuhnya.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa penyediaan dana dari negara bukanlah jaminan mutlak untuk mencegah korupsi. Ia menyebut bahwa pengawasan ketat dan pembinaan tetap menjadi unsur penting agar integritas politik tidak runtuh.
“Kalau pendanaan dari manapun ya, kalau orangnya niat korupsi ya mungkin bisa terjadi. Kita lihat berapa banyak BUMN, berapa banyak pejabat pemerintahan pada akhirnya korupsi. Jadi fungsi pengawasan, fungsi pencegahan fungsi pembinaan harus tetap dilakukan. Konteksnya bahwa pembiayaan yang ada kan sebetulnya hanya meringankan beban saja. Kalau misalnya kita sebut apakah bisa menutupi semua pembiayaan, tentu tidak,” pungkasnya.
Sebelumnya, KPK mengajukan usulan agar partai politik mendapat sokongan dana yang lebih besar dari kas negara guna mengurangi risiko praktik lancung. Kepala Presidential Communication Officer (PCO) Hasan Nasbi mengatakan Presiden Prabowo memiliki komitmen kuat untuk memerangi korupsi, dan ide ini sejalan dengan visi tersebut.
“Ya, yang jelas Presiden itu kan punya agenda yang sangat serius untuk memberantas korupsi. Dan ini juga bagian dari Asta Cita, memberantas korupsi. Jadi, ide-ide untuk memberantas korupsi itu bisa didiskusikan,” kata Hasan kepada wartawan di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (19/5).
Hasan juga menyatakan bahwa peningkatan dana parpol harus dikaji secara mendalam, agar bisa dituangkan dalam produk hukum ke depan.
“Dan kalau kita bicara soal bantuan dana untuk partai, dana bantuan keuangan untuk partai kan sebenarnya sebelumnya sudah ada. Ya, dari sebelum-sebelumnya memang sudah ada. Nah, kalau ada usulan untuk peningkatan seperti ini nanti bisa dikaji nih. Bisa didiskusikan,” ujar Hasan.
“Jadi, ide-ide ini nanti bisa didiskusikan lebih lanjut supaya bisa jadi produk hukum di DPR,” imbuhnya.