Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bahwa perkara dugaan korupsi dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry tidak muncul secara tiba-tiba. Lembaga antirasuah itu menegaskan, sumber mula kasus ini berasal dari temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Temuan tersebut kemudian menjadi percikan api yang memantik penyidikan lebih jauh.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyampaikan bahwa lembaganya telah menyelesaikan seluruh rangkaian kewajiban dalam menangani perkara itu.
“Kalau dari sisi KPK, kami sudah selesai melaksanakan tugas kami. Dugaan tindak pidana korupsi dalam akuisisi PT JN oleh ASDP ditemukan oleh auditor BPKP dan dilaporkan ke KPK,” ujar Asep melalui pesan singkat pada Kamis (27/11/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Asep untuk menanggapi kabar mengenai rehabilitasi yang diberikan kepada tiga terdakwa kasus ASDP, yaitu mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi, serta dua pejabat lain, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ia menegaskan bahwa langkah hukum yang ditempuh KPK tidak dilakukan tanpa dasar, melainkan mengikuti temuan resmi dan proses hukum berlapis.
Asep menjelaskan bahwa laporan dari BPKP menjadi pijakan awal KPK untuk menapaki proses hukum berjenjang—mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga tahap penuntutan. Menurutnya, seluruh prosedur yang dijalankan pun telah diuji dan dikonfirmasi melalui mekanisme praperadilan.
Dia menambahkan bahwa gugatan praperadilan dari pihak tersangka telah ditolak oleh majelis hakim, sehingga menguatkan langkah KPK dalam memproses perkara ini.
“Dari sisi materiil, pemenuhan unsur pasal dan pembuktian sudah dilakukan di sidang, dan pada tanggal 20 November, majelis hakim sudah menjatuhkan vonis bersalah terhadap para terdakwa,” tutur Asep.
Selama persidangan berlangsung, Asep menyebut seluruh proses dilakukan secara terbuka layaknya panggung yang bisa disaksikan siapa saja. Ia memastikan bahwa tidak ada tekanan massa ataupun tindakan intimidatif yang mengiringi proses hukum tersebut. Namun, ia menyadari munculnya narasi di media sosial yang menilai beberapa terdakwa mendapat perlakuan tidak adil.
“Itu hak mereka. Ini kan masalah hukum. KPK dan pihak terpidana sudah mengikuti alur penanganan perkaranya dan sudah ada keputusan majelis,” ucapnya.
Lebih jauh, Asep menegaskan bahwa KPK tidak keliru dalam mengaplikasikan aturan hukum ketika menangani kasus tersebut. Ia menyatakan semua tahapan telah diperiksa secara formal maupun materiil.
“Semua itu sudah diuji di sidang praperadilan dan KPK dinyatakan benar tidak melanggar undang-undang. Begitu pun uji materiilnya,” kata dia.
Rehabilitasi dari Presiden untuk Tiga Terdakwa
Sementara itu, Presiden RI Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa lain yang terlibat dalam kasus serupa. Langkah ini diambil setelah DPR RI menampung aspirasi masyarakat dan melakukan kajian melalui komisi hukum.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil komunikasi dengan pihak pemerintah.
“Setelah DPR RI menerima berbagai aspirasi dari masyarakat, kelompok masyarakat, kami kemudian meminta ke komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap penyelidikan yang mulai dilakukan sejak Juli 2024,” ujar Dasco di Istana, Jakarta.
Ia melanjutkan, “Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut.”
Sebelumnya, Ira Puspadewi dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa KPK sebesar 8,5 tahun penjara.
Dalam amar putusan, hakim menegaskan bahwa Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, hingga Rp 1,25 triliun dalam rentang pengurusan akuisisi PT JN oleh ASDP. Namun, majelis menilai tidak ada keuntungan pribadi yang diterima Ira sehingga ia tidak dibebani kewajiban membayar uang pengganti.
Dua pejabat ASDP lainnya, yaitu Ferry Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, juga menerima vonis 4 tahun penjara serta denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Ketiganya dinilai melanggar ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1.






