Hubungan antara Washington dan Moskow kembali berada di ujung tanduk setelah rencana pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan batal. Keputusan ini menandai babak baru dalam dinamika diplomasi global, di mana upaya mendekatkan dua kekuatan besar dunia seolah terhenti di tengah jalan sebelum sempat dimulai.
Trump menegaskan dirinya tidak ingin mengadakan pertemuan yang dianggap tidak produktif. Ia menyebut pertemuan dengan Putin akan menjadi sia-sia jika tidak menghasilkan kemajuan yang nyata dalam isu-isu utama. Dengan nada tegas, Trump menyampaikan keengganannya kepada awak media di Gedung Putih.
“Saya tidak ingin pertemuan yang sia-sia,” ujar Trump kepada wartawan, sebagaimana dilaporkan AFP pada Rabu (22/10/2025).
“Saya tidak ingin membuang-buang waktu, jadi saya akan lihat saja nanti,” tambahnya.
Sebelumnya, rumor mengenai pertemuan kedua pemimpin besar ini telah beredar sejak beberapa minggu lalu. Isu itu mencuat setelah percakapan telepon yang disebut Kremlin berlangsung dalam suasana yang “sangat jujur dan penuh kepercayaan”. Percakapan tersebut terjadi di tengah stagnasi diplomasi damai untuk menyelesaikan perang di Ukraina, yang sempat menunjukkan tanda-tanda mereda pasca kegagalan pertemuan puncak di Alaska pada 15 Agustus lalu.
Ajudan utama Presiden Putin, Yuri Ushakov, menjelaskan bahwa kedua pihak telah membahas kemungkinan menggelar pertemuan puncak baru.
“Telah disepakati bahwa perwakilan kedua negara akan segera mulai menyelenggarakan pertemuan puncak yang dapat digelar, misalnya, di Budapest,” ujar Ushakov kepada wartawan, seperti dikutip AFP, Jumat (17/10).
Ia menambahkan bahwa usulan lokasi tersebut datang dari Trump sendiri dan langsung mendapat sambutan positif dari Putin.
“Itu adalah percakapan yang sangat substantif, dan pada saat yang sama, sangat jujur dan penuh kepercayaan,” imbuhnya.
Namun, hubungan antara kedua negara kembali tegang setelah isu persenjataan kembali mencuat. Dalam percakapan tersebut, Trump dan Putin membahas posisi Amerika Serikat terkait kemungkinan pengiriman rudal jarak jauh Tomahawk ke Ukraina.
“Vladimir Putin menegaskan kembali pernyataannya bahwa rudal Tomahawk tidak akan mengubah situasi di medan perang, tetapi akan secara signifikan merusak hubungan antara kedua negara kita. Belum lagi prospek penyelesaian damai,” kata Ushakov.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tengah melakukan kunjungan ke Washington DC untuk membahas sejumlah topik strategis dengan Trump, termasuk potensi bantuan militer tambahan. Kremlin mengklaim bahwa Trump berjanji akan mempertimbangkan peringatan Putin sebelum pertemuan dengan Zelensky.
Di sisi lain, Eropa juga ikut mencermati dinamika ini. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyambut positif rencana pertemuan Trump-Putin, namun menegaskan bahwa Ukraina dan negara-negara Eropa harus dilibatkan dalam prosesnya.
“Sejak mereka membahas nasib Ukraina, Ukraina harus dilibatkan,” kata Macron usai menghadiri pertemuan puncak para pemimpin Eropa Selatan di Slovenia, dikutip AFP, Senin (20/10).
Ia menambahkan, “Sejak mereka membahas dampaknya terhadap keamanan Eropa, Eropa harus dilibatkan.”
Namun, harapan Eropa tampaknya kandas bersama memburuknya komunikasi antara Washington dan Moskow. Para pejabat dari kedua negara mulai memberikan sinyal bahwa pertemuan puncak itu tidak akan terlaksana dalam waktu dekat.
“Tidak ada rencana bagi Presiden Trump untuk bertemu dengan Presiden Putin dalam waktu dekat,” ujar seorang pejabat senior Gedung Putih kepada Al Jazeera.
Kremlin pun memberikan nada yang serupa. Juru bicara Dmitry Peskov menyebut belum ada jadwal pasti yang disepakati untuk pertemuan tersebut.
“Tidak ada kerangka waktu pasti yang ditetapkan di sini,” kata Peskov.
“Persiapan diperlukan, persiapan yang serius,” tambahnya.
Ketegangan semakin meningkat setelah Reuters melaporkan bahwa Rusia telah mengirim komunike rahasia kepada AS berisi tuntutan agar seluruh wilayah Donbas diakui sebagai bagian dari kendali Rusia. Tuntutan ini jelas bertolak belakang dengan posisi Trump, yang sehari sebelumnya menyerukan agar garis pertempuran dibekukan sesuai kondisi saat ini.
Upaya untuk memuluskan komunikasi diplomatik juga mengalami kebuntuan. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio sempat melakukan pembicaraan via telepon sebagai langkah persiapan. Namun, Gedung Putih kemudian mengonfirmasi bahwa rencana pertemuan tatap muka antara keduanya dibatalkan.
“Menteri Rubio dan Menteri Lavrov telah melakukan panggilan telepon yang produktif. Oleh karena itu, pertemuan tatap muka tambahan antara Menteri dan Menteri Luar Negeri tidak diperlukan,” kata seorang pejabat Gedung Putih kepada Al Jazeera.
Dengan batalnya pertemuan dua pemimpin besar dunia itu, diplomasi AS-Rusia tampak seperti kapal yang kehilangan arah di tengah badai geopolitik. Harapan akan lahirnya solusi damai bagi Ukraina pun kembali tertutup kabut tebal ketidakpastian, sementara dunia menatap dengan cemas pada langkah selanjutnya dari dua kekuatan yang selalu berada di jantung pusaran politik global.






