Gencatan Senjata India-Pakistan: Langkah Awal yang Belum Menjamin Perdamaian Abadi

Sahrul

Setelah empat hari ketegangan bersenjata yang menggelora di wilayah sengketa Kashmir, India dan Pakistan akhirnya menarik pelatuk perdamaian. Bukan atas dasar kehendak murni masing-masing, namun lewat tangan dingin Amerika Serikat yang tampil sebagai penengah utama, keduanya menyepakati gencatan senjata. Namun, di balik senyap senjata itu, banyak kalangan percaya bahwa kedamaian yang hakiki masih jauh dari genggaman.

Konflik yang hampir menyeret Asia Selatan ke jurang perang terbuka itu mereda setelah intervensi Washington yang dinilai sangat krusial oleh para diplomat senior dari kedua belah pihak. Gencatan ini menandai akhir dari ketegangan bersenjata terburuk dalam seperempat abad terakhir. Namun, benih-benih keraguan masih tumbuh subur di kalangan analis politik luar negeri.

“AS telah memainkan peran yang membantu dalam mendorong Pakistan menyetujui gencatan senjata,” ujar Meera Shankar, eks Duta Besar India untuk AS, kepada DW.

Ajay Bisaria, mantan perwakilan diplomatik India di Pakistan, menegaskan bahwa AS menggunakan pengaruh finansialnya, termasuk leverage dari lembaga keuangan internasional seperti IMF, untuk menuntaskan konflik. “India telah menetapkan norma doktrinal baru berupa nol toleransi terhadap terorisme, yang telah diterima oleh AS,” tegasnya.

Bagi para pengamat dari Pakistan, langkah gencatan ini lebih mirip panggung kompromi diam-diam. Mereka menilai kedua negara sebenarnya membutuhkan jeda, tapi gengsi nasional membuat mereka enggan terlihat sebagai pihak yang lebih dulu menyerah.

“Pakistan dan India sama-sama membutuhkan gencatan senjata, tetapi tak satu pun dari mereka ingin menjadi pihak pertama yang memintanya karena harga diri nasional dan ego para pemimpin. AS membantu memberikan ‘alasan’ untuk keputusan itu,” jelas Husain Haqqani, mantan Duta Besar Pakistan dan kini peneliti senior di Hudson Institute, Washington DC.

Haqqani juga menyebut bahwa masing-masing pihak menggunakan konflik singkat itu untuk mengukur kekuatan dan pertahanan lawan. Seolah dua pemain catur yang sengaja membuat langkah provokatif demi melihat reaksi, mereka menyadari bahwa permainan ini tak bisa dimenangkan tanpa risiko kehancuran timbal balik. “Keduanya menyadari bahwa mereka tidak bisa menang dalam perang tanpa menimbulkan dan mengalami kehancuran besar,” ungkapnya.

Seperti babak baru dalam drama diplomatik panjang, Arab Saudi dan Iran ikut ambil bagian sebagai penyeimbang dengan memanfaatkan hubungan baik mereka dengan kedua belah pihak. Menteri Luar Negeri Saudi dan Iran disebut menggunakan modal sejarah hubungan bilateral untuk membuka ruang dialog.

Meski medan pertempuran mereda, medan diplomasi masih bergolak. Di India, sejumlah pengamat menyebut militer Pakistan sebagai kekuatan tak terkendali dalam sistem politik negaranya. Deepa Gopalan Wadhwa menyoroti adanya ketidakselarasan antara militer dan pemerintah sipil. “Peristiwa ini menunjukkan militer Pakistan sebagai aktor ‘liar’ dan mencerminkan ketidaksinkronan internal dengan pemerintahan sipil. Masih tampak ada perbedaan antara kepemimpinan sipil dan militer di sana dalam hal menghentikan permusuhan. Mereka harus menyelesaikan hal ini,” ujarnya.

Wadhwa juga menekankan pentingnya jalur komunikasi langsung antara Direktur Jenderal Operasi Militer (DGMO) India dan Pakistan. Meski jalur tersebut telah difungsikan, ketegangan tetap rentan meledak kapan saja. “Eskalasi yang terjadi meskipun ada gencatan senjata yang dimediasi oleh DGMO menunjukkan rapuhnya kesepakatan semacam itu dalam konteks ketidakpercayaan mendalam dan dinamika kompleks hubungan sipil-militer, khususnya di Pakistan,” tambahnya.

Meskipun suasana mereda untuk sementara, jalan menuju stabilitas jangka panjang masih penuh ranjau. Brigadir S K Chatterji, analis pertahanan India, memperingatkan bahwa intervensi pihak ketiga tak selalu bisa diandalkan. “Terlepas dari keterlibatan AS, mediasi pihak ketiga yang diterima sebagai norma oleh India kemungkinan tidak akan terulang di masa depan,” katanya.

Walaupun gencatan senjata berpotensi bertahan karena desakan komunitas internasional dan kesadaran akan risiko ekonomi-politik, potensi gesekan masih tinggi. Aktivitas militer seperti patroli drone atau suara tembakan bisa dengan mudah disalahartikan sebagai serangan dan memicu konflik ulang.

“Saya berharap gencatan senjata ini stabil dan tetap berlangsung. Tidak ada keuntungan bagi kedua negara atau bagi perdamaian dan stabilitas kawasan jika terjadi konflik militer yang lebih besar. Hubungan dengan Pakistan kemungkinan akan tetap menantang,” kata Meera Shankar.

Bisaria menambahkan bahwa isu-isu seperti akses air dan pemberantasan terorisme akan tetap menjadi batu sandungan. “Penangguhan Perjanjian Air Indus oleh India dan pelarangan perdagangan, ditambah dengan kendala ekonomi Pakistan, akan terus membuat hubungan tetap tegang. Stabilisasi dalam jangka menengah masih mungkin terjadi,” tambahnya.

Chatterji pun mengingatkan bahwa pertarungan akan terus berlanjut di meja kebijakan. “Gencatan senjata ini tidak akan bertahan selamanya. Pakistan juga akan melawan penangguhan Perjanjian Air Indus oleh India dengan sekuat tenaga,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa proyek-proyek pengalihan aliran air akan memakan waktu, namun jika digunakan sebagai insentif bagi kerja sama keamanan, maka hal tersebut bisa menjadi instrumen negosiasi yang strategis.

Sementara itu, Elizabeth Threlkeld dari Stimson Center menekankan pentingnya komitmen bersama. “Yang paling penting menurut saya adalah bahwa kesepakatan telah tercapai dan kedua pihak harus tetap berkomitmen untuk mencegah pelanggaran. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar krisis semacam ini tidak terulang kembali, dan itu harus menjadi fokus utama bagi kedua negara, AS, serta mitra internasional lainnya yang mendukung upaya ini,” tuturnya.

Also Read

Tags

Leave a Comment