Google Luncurkan Fitur Deteksi Foto Palsu, Pengguna Kini Bisa Verifikasi Keaslian Gambar

Sahrul

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) kini bak pisau bermata dua. Di satu sisi menawarkan kemudahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, namun di sisi lain membuka peluang lahirnya ancaman baru. Salah satu bayang-bayang yang kian membesar adalah maraknya penyebaran deepfake dan disinformasi, dua fenomena yang dapat memelintir realitas dan menyesatkan publik.

Dengan kemajuan alat-alat berbasis AI, siapa pun kini bisa mengubah atau membuat ulang visual berupa foto maupun video hanya dalam hitungan menit. Konten manipulatif semacam itu sering kali tampak begitu meyakinkan, sehingga dapat memicu kesalahpahaman, mengipasi perpecahan, bahkan menciptakan opini liar di ruang digital. Dalam situasi penuh ketidakpastian itu, kemampuan untuk memverifikasi keaslian konten menjadi kunci penting menjaga ruang informasi tetap sehat.

Menanggapi kondisi tersebut, Google memperkenalkan fitur baru pada platform AI mereka, Gemini, yang memungkinkan pengguna mengecek apakah sebuah gambar merupakan hasil olahan mesin. Cara kerjanya dibuat sangat sederhana: pengguna cukup menuliskan pertanyaan “Is this AI-generated?”, lalu Gemini akan memberikan analisis mengenai keaslian visual tersebut.

Pada tahap peluncuran awal, kemampuan deteksi ini masih dibatasi pada konten gambar, sementara verifikasi untuk video dan audio dijanjikan akan hadir dalam waktu dekat. Hal ini disampaikan Google sebagaimana dikutip dari The Verge, Jumat (21/11/2025).

Google juga mengonfirmasi bahwa fitur pendeteksian ini akan diperluas ke produk lainnya, termasuk mesin pencari Google Search, sehingga pengguna dapat melakukan pengecekan langsung saat berselancar di internet. Perluasan ini digadang-gadang akan menjadi fondasi penting upaya global memerangi konten manipulatif berbasis AI.

Lebih jauh lagi, Google mengisyaratkan langkah strategis yang lebih besar dengan memperluas dukungan terhadap standar verifikasi industri, yakni C2PA (Coalition for Content Provenance and Authenticity). Standar ini bertujuan membuat konten digital memiliki “jejak asal-usul” yang dapat diverifikasi, layaknya sidik jari yang menempel pada setiap media yang dipublikasikan.

Saat ini, sistem pengecekan di Gemini masih bergantung pada teknologi SynthID, sebuah watermark digital buatan Google yang disisipkan ke dalam gambar yang dihasilkan AI. Namun, integrasi dengan C2PA nantinya akan memungkinkan Gemini menganalisis sumber konten dari berbagai platform dan perangkat kreatif lain, termasuk generator visual seperti Sora dari OpenAI.

Dalam pengumuman terpisah, Google juga menyebut bahwa gambar yang dihasilkan oleh model Nano Banana Pro akan dibekali metadata C2PA secara otomatis. Kabar ini menjadi perkembangan positif bagi standar C2PA, terlebih setelah TikTok mengonfirmasi akan mengadopsi metadata yang sama untuk sistem watermark tersembunyi mereka sebagai penanda konten berbasis AI.

Meski begitu, banyak pakar menilai bahwa kemampuan verifikasi manual seperti yang disediakan Gemini hanyalah salah satu bagian dari solusi. Kredensial digital seperti C2PA maupun watermark SynthID tidak akan mencapai efektivitas penuh bila platform media sosial belum memiliki sistem deteksi otomatis yang dapat menandai konten manipulatif tanpa menuntut pengguna untuk mengeceknya sendiri. Di era banjir informasi, tanggung jawab menjaga keaslian konten tak bisa hanya dipikul individu.

Dengan peluncuran fitur ini, Google tampak ingin menempatkan diri di garis depan dalam pertempuran melawan disinformasi berbasis AI. Di tengah zaman ketika realitas bisa “dipermak” seperti gambar digital, upaya memperkuat transparansi konten menjadi tonggak penting agar publik tetap dapat membedakan mana fakta dan mana ilusi.

Also Read

Tags