Polemik pengelolaan kas daerah Jawa Barat kembali mencuat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut penyimpanan dana APBD di rekening giro justru merugikan daerah. Pernyataan itu segera ditanggapi oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah paling aman dan sesuai prinsip kehati-hatian dalam tata kelola keuangan publik.
Menurut Dedi, penyimpanan dana daerah dalam bentuk giro tidak dapat serta-merta disebut merugikan, karena opsi tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan dan mekanisme keuangan pemerintah daerah. Ia menegaskan bahwa uang negara harus tetap berada di lembaga resmi, bukan disimpan sembarangan.
“Kalau hari ini juga nyimpan di giro juga dianggap rugi, ya barangkali tidak mungkin juga kan pemerintah daerah nyimpan uang di kasur atau di lemari besi kan. Itu justru lebih rugi lagi,” kata Dedi di Bandung.
Deposito On Call dan Prinsip Fleksibilitas
Dedi kemudian memaparkan bahwa praktik penyimpanan dana daerah dalam bentuk deposito on call masih dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia. Ia menjelaskan, mekanisme tersebut bersifat fleksibel dan bisa dicairkan sewaktu-waktu apabila pemerintah membutuhkan dana cepat untuk menjalankan proyek pembangunan.
“Memang di provinsi, di kabupaten kota, ada yang disebut dengan penyimpanan deposito on call. Yaitu uang yang tersedia di kas daripada di giro sangat rendah bunganya, lebih baik disimpan di deposito,” ujarnya.
“Kemudian bunganya itu menjadi pendapatan lain-lain yang itu juga bisa menjadi modal pembangunan pemerintah daerah, tidak lari ke perorangan kembali lagi ke kas daerah,” katanya.
Melalui penjelasan itu, Dedi berupaya meluruskan pandangan publik bahwa kebijakan penyimpanan dana di giro bukan bentuk kelalaian, melainkan strategi likuiditas agar uang daerah mudah diakses saat dibutuhkan. Ibarat cadangan air di bendungan, dana di giro bisa langsung dialirkan tanpa harus menunggu proses administrasi panjang.
Pengelolaan Dana di BJB dan Prinsip Kehati-hatian
Lebih lanjut, Dedi menegaskan bahwa seluruh kas daerah Provinsi Jawa Barat dikelola melalui Bank Jabar Banten (BJB), dan disimpan dalam bentuk giro, bukan deposito. Menurutnya, keputusan tersebut diambil berdasarkan prinsip prudential atau kehati-hatian agar tidak menimbulkan risiko hukum dan keuangan di kemudian hari.
Ia mencontohkan mekanisme pembayaran proyek besar yang dijalankan pemerintah provinsi, seperti pembangunan jalan senilai Rp1 triliun. Dana sebesar itu, kata Dedi, tidak bisa langsung dicairkan sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai progres pekerjaan.
“Yang Rp 1 triliun itu tidak langsung dibayarkan begitu kontrak dibayarkan. Maka dibagi menjadi tiga termin. Ada termin pertama biasanya 20-30 persen, kemudian termin kedua, termin ketiga,” ucapnya.
“Kalau diberikan uang langsung, bagaimana kalau nanti uangnya diserap tapi pekerjaannya tidak ada? Ini akan menjadi masalah hukum bagi penyelenggara kegiatan seperti kepala PU,” tambahnya.
Dengan sistem termin tersebut, pemerintah dapat memastikan uang rakyat benar-benar terserap untuk pekerjaan nyata di lapangan, bukan sekadar angka di atas kertas. Strategi ini sekaligus menjadi bentuk antisipasi terhadap potensi penyimpangan dalam penggunaan anggaran.
Target Serapan Anggaran dan Transparansi Fiskal
Dedi menyebut bahwa Pemprov Jabar tetap berkomitmen mengoptimalkan penyerapan anggaran untuk proyek pembangunan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa kas daerah yang masih tersisa akan terus ditekan hingga akhir tahun anggaran demi meningkatkan efisiensi keuangan daerah.
“Kalau hari ini masih ada angka Rp 2,5 triliun, nanti di tanggal 30 Desember jumlah itu akan menyusut. Saya berharap saldonya bisa di bawah angka Rp 2,5 triliun. Tidak di bawah angka Rp 50 miliar. ‘Nuhun-nuhun’ kalau saldonya 0,” tuturnya.
Dedi juga menambahkan bahwa langkah tersebut sudah sejalan dengan evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri, yang menilai Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat serapan belanja dan pendapatan tertinggi di Indonesia. Hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan pengelolaan keuangan daerah telah berjalan pada jalur yang benar.
Polemik dengan Kemenkeu: Antara Persepsi dan Realitas
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti praktik penyimpanan dana APBD dalam bentuk giro. Ia menilai keputusan tersebut justru membuat daerah kehilangan potensi bunga yang lebih tinggi seperti pada deposito.
“Ada yang ngaku katanya uangnya bukan di deposito tapi di giro, malah lebih rugi lagi. Bunganya lebih rendah kan. Kenapa di giro? Pasti nanti akan diperiksa BPK itu,” katanya di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kamis (23/10).
Namun, pernyataan itu dianggap pihak Pemprov Jabar tidak konsisten, karena sebelumnya Purbaya juga pernah mengkritik pemerintah daerah yang menyimpan dana dalam bentuk deposito dengan alasan menimbulkan kecurigaan mengendapkan anggaran demi mencari keuntungan. Kondisi ini ibarat “serba salah” bagi pemerintah daerah—menyimpan di deposito disorot, sementara di giro pun disebut rugi.
Menjaga Keuangan Daerah Tetap Sehat
Bagi Dedi, pengelolaan dana publik bukan sekadar soal bunga tinggi atau rendah, melainkan soal tanggung jawab dan keamanan uang rakyat. Ia berpegang pada prinsip bahwa lebih baik pemerintah berjalan lambat namun pasti, daripada tergesa mengambil keputusan yang berisiko.
Langkah Pemprov Jabar menyimpan APBD di giro pun menjadi simbol keseimbangan antara kehati-hatian dan kecepatan dalam menyalurkan dana publik. Dalam perspektif Dedi, uang negara bukan komoditas untuk diputar demi keuntungan, melainkan amanah yang harus dijaga agar memberi manfaat nyata bagi masyarakat.






