Hadapi 2026, Bos Lippo Nilai Fondasi Ekonomi Indonesia Masih Solid

Sahrul

Berbagai lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank), Bank Sentral Eropa (ECB), hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan bahwa ekonomi global pada 2026 akan berjalan di medan yang tidak ramah. Arah perdagangan dunia diperkirakan melemah, rantai pasok global direkayasa ulang demi alasan keamanan, utang publik di banyak negara menumpuk di level tertinggi, sementara laju inovasi teknologi melesat lebih cepat dibanding kemampuan regulasi yang tertatih mengikutinya.

Di tengah peta dunia yang dipenuhi tanda tanya tersebut, Wakil Ketua Umum Koordinator (WKUK) Kadin Indonesia Bidang Luar Negeri sekaligus CEO Lippo Group, James Riady, justru melihat Indonesia tidak berdiri di atas fondasi rapuh. Menurutnya, Indonesia memiliki modal yang cukup kuat untuk menapaki tahun 2026, meski dinamika ekonomi dan geopolitik global kian sulit diprediksi.

Pandangan itu disampaikan James dalam acara KADIN Friday Breakfast, Pertemuan Penutup Tahun yang digelar di Hotel Aryadutta, Jakarta, Jumat (12/12/2025). Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara sikap realistis dan optimisme di tengah badai global yang mulai tampak di cakrawala.

“Kita harus realistis, namun tetap optimistis memasuki tahun 2026. Kita harus jujur, 2026 tidak akan menjadi tahun yang mudah bagi ekonomi global. Akan ada badai dan sebagian sudah terlihat, sebagian masih muncul di balik horizon. Namun, Indonesia tidak memasuki tahun itu dengan tangan kosong. Indonesia memasuki tahun 2026 dengan modal yang cukup,” ungkap James dalam keterangan tertulis, Jumat (12/12/2025).

Menurut James, daya tahan Indonesia tidak hanya bertumpu pada angka-angka statistik, tetapi juga pada ekosistem manusianya. Ia menilai Indonesia memiliki pengusaha yang tetap membangun di tengah ketidakpastian, perusahaan yang terus menanamkan investasi, inovator yang konsisten mencipta solusi baru, serta para pemimpin yang tidak mudah runtuh oleh kabar buruk.

Lebih lanjut, James memaparkan lima modal utama yang membuat Indonesia relatif siap menghadapi tekanan global. Pertama adalah transisi politik yang berjalan stabil. Di mata dunia internasional, politik Indonesia dinilai menunjukkan kesinambungan, kejelasan arah, serta tingkat prediktabilitas yang semakin langka di banyak negara saat ini.

“Kedua, fundamental makro kita tetap solid. Di mana inflasi terkendali, disiplin fiskal terjaga, konsumsi domestik kuat, komposisi demografi yang didominasi usia produktif, dan nilai tukar relatif tangguh dibanding banyak emerging market lainnya,” ujarnya.

Modal ketiga, lanjut James, adalah masifnya pembangunan infrastruktur. Indonesia saat ini tengah menjalani dekade infrastruktur terbesar sepanjang sejarahnya, mencakup pembangunan pelabuhan, jalan, kawasan industri, sektor energi, logistik, hingga proyek ibu kota baru. Seluruh proyek tersebut dinilai meningkatkan daya saing nasional secara nyata, bukan sekadar di atas kertas.

Keempat, fokus Presiden terhadap isu-isu strategis seperti ketahanan pangan, hilirisasi industri, kesehatan, pertahanan, serta pembangunan ratusan ribu jembatan memberikan arah kebijakan nasional yang jelas. Arah ini menjadi semacam kompas di tengah dunia yang terfragmentasi oleh konflik dan kepentingan masing-masing negara.

“Kelima, Indonesia memiliki kombinasi langka, yakni stabilitas politik, kekuatan demografi, sumber daya alam, percepatan digital, dan basis manufaktur yang terus tumbuh. Dalam dunia yang terfragmentasi, Indonesia justru semakin menarik,” katanya.

James juga menyinggung bahwa program-program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai menunjukkan dampak positif. Kadin, kata dia, sebagai mitra strategis pemerintah, mendukung penuh berbagai kebijakan yang dinilai mampu memperkuat optimisme pelaku usaha dan investor.

Meski ketidakpastian global masih membayangi, James menegaskan bahwa Indonesia tetap memiliki aktor-aktor ekonomi yang memilih bergerak maju, bukan berhenti karena rasa takut. Menurutnya, sikap inilah yang menjadi pembeda utama Indonesia di tengah tekanan global.

“Jika 2025 adalah tahun penyesuaian dan transisi, maka 2026 bisa menjadi tahun antisipasi dan tahun keberanian,” pungkas James.

Dengan fondasi tersebut, Indonesia dinilai memiliki peluang bukan hanya untuk bertahan, tetapi juga memanfaatkan celah di tengah gejolak ekonomi dunia.

Also Read

Tags