Ketegangan di kawasan Selat Taiwan kembali memuncak setelah Presiden Taiwan Lai Ching-te mengumumkan rencana belanja pertahanan yang nilainya melonjak tajam. Dalam paparan kebijakan yang disampaikan pekan lalu, Lai membeberkan rencana investasi tambahan sebesar 40 miliar dolar AS dalam anggaran militer khusus yang akan digelontorkan selama delapan tahun ke depan. Dana jumbo ini diproyeksikan menjadi fondasi bagi pengembangan sistem pertahanan futuristik guna menghadapi tekanan Beijing yang kian agresif.
Langkah tersebut bukan muncul tanpa alasan. China dalam beberapa tahun terakhir terus meningkatkan intensitas tekanan politik dan militer terhadap Taiwan — mulai dari patroli udara berulang, latihan tempur besar-besaran, hingga retorika diplomatik yang menyiratkan tidak adanya kompromi atas klaim “satu China”. Bagi Taipei, gelombang tekanan itu ibarat badai yang terus membentur pintu rumah.
Sebagai respons, Lai menargetkan pengeluaran militer tahunan Taiwan naik signifikan hingga 3,3% dari PDB pada 2026, angka tertinggi dalam hampir dua dekade, sebelum mencapai 5% dari PDB pada 2030. Kenaikan ini diposisikan sebagai upaya memperkuat perisai pertahanan negara pulau tersebut di tengah dinamika keamanan yang mudah berubah.
Pidato Lai sempat memicu kegaduhan setelah ia menyebut Beijing menargetkan “penyatuan penuh dengan Taiwan melalui kekuatan militer pada 2027”. Klaim itu kemudian direvisi pada platform resmi pemerintah dengan penegasan bahwa pernyataan tersebut merujuk pada “persiapan” China, bukan tenggat yang pasti.
Di sisi lain, Amerika Serikat — mitra keamanan utama Taiwan meski tanpa hubungan diplomatik formal — menyambut rencana tersebut. Duta Besar de facto AS di Taipei, Raymond Greene, mengatakan Washington mendukung “perolehan cepat kemampuan asimetris kritis” oleh Taiwan. Sementara itu, Beijing justru mengecam pemerintahan Lai dan partai berkuasa Taiwan karena dianggap “menolak penyatuan dan mencari kemerdekaan dengan menggunakan kekuatan militer,” serta memperingatkan langkah tersebut “pasti akan gagal.”
Sinyal Politik untuk Washington?
Sejumlah analis memandang bahwa rencana anggaran besar ini tidak hanya ditujukan untuk Beijing, tetapi juga menjadi pesan tidak langsung kepada Washington.
Ding Shuh-Fan, profesor kehormatan di Universitas Nasional Chengchi, menilai kebijakan itu dapat dibaca sebagai respons terhadap “pendekatan dan tuntutan keseluruhan” Presiden AS Donald Trump terkait Taiwan.
Sejak memasuki masa jabatan keduanya, Trump meningkatkan tekanan agar Taiwan memperkuat kemampuan militernya. Namun, Lai menegaskan bahwa tambahan dana 40 miliar dolar tersebut bukan terkait negosiasi dagang Taiwan-AS ataupun panggilan telepon baru-baru ini antara Trump dan Presiden China Xi Jinping, melainkan rencana jangka panjang untuk meredam potensi agresi China.
Meski demikian, waktu pengumuman ini dinilai politis. Saat ini, Taiwan sedang bernegosiasi dengan AS terkait penurunan tarif 20% atas sejumlah ekspor serta pembahasan kerja sama yang dapat mewajibkan Taiwan menambah investasi di sektor semikonduktor AS dan mengirim tenaga ahli untuk melatih pekerja Amerika.
Menariknya, pengumuman Lai disampaikan tak lama setelah Xi Jinping menghubungi Trump dan menggambarkan “kembalinya Taiwan ke Cina” sebagai “bagian penting dari tatanan internasional pascaperang.”
Trump menyebut panggilan itu “sangat baik,” namun tidak mengulang narasi Beijing soal Taiwan.
Meski Taiwan was-was terhadap potensi dijadikannya mereka sebagai alat tawar dalam diplomasi Washington–Beijing, para pengamat menilai posisi Taiwan tetap strategis berkat industri semikonduktor kelas dunia yang menjadi tulang punggung teknologi global. Ding bahkan mempertanyakan apa yang mampu ditawarkan Beijing jika Washington benar-benar diminta menukar Taiwan.
T-Dome: Perisai Udara Baru Taiwan
Salah satu proyek paling ambisius dalam paket pertahanan delapan tahun ini adalah pembangunan jaringan pertahanan udara berlapis yang disebut T-Dome.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan dalam pidato Hari Nasional Taiwan dan digambarkan sebagai kubah virtual yang memayungi wilayah udara Taiwan dari gempuran rudal modern.
Sistem tersebut memadukan sensor-sensor mutakhir, kecerdasan buatan untuk pengambilan keputusan cepat, serta teknologi intersepsi generasi baru.
Menurut Direktur Strategi Pertahanan dan Sumber Daya di Institut Penelitian Pertahanan Nasional Taiwan, Su Tzu-yun, T-Dome dirancang untuk menghadapi ancaman rudal China yang berkembang pesat.
“Alasan utamanya adalah ancaman rudal Cina yang terus berkembang,” ujar Su.
Ia menjelaskan bahwa rudal balistik berbasis darat memberi Taiwan waktu reaksi sekitar 10 menit. Namun, rudal baru yang ditembakkan dari kapal perang China hanya memerlukan sekitar tiga menit untuk mencapai Taiwan — waktu yang sangat singkat sehingga butuh sistem pertahanan yang jauh lebih cepat.
China kini mengoperasikan angkatan laut terbesar di dunia jika dihitung berdasarkan jumlah kapal. Armada tersebut terus diperbarui dengan kapal perusak, kapal induk, dan kapal serbu amfibi yang memiliki kemampuan tempur semakin kompleks.
“Dengan ancaman baru berbasis laut ini, sistem pertahanan udara Taiwan harus lebih lengkap dan bereaksi jauh lebih cepat,” tambahnya.
Menurut Su, memperkuat T-Dome tidak hanya meningkatkan kemampuan pencegatan, tetapi juga menaikkan risiko dan biaya serangan bagi China — membuat Beijing berpikir dua kali sebelum mengambil langkah militer.
Tantangan Politik di Parlemen
Meski ambisius, proposal anggaran pertahanan ini belum tentu mulus melintasi parlemen Taiwan yang kini dikuasai oposisi.
Partai oposisi utama, Kuomintang (KMT), mengkritik keras rencana meningkatkan belanja hingga 5% dari PDB, menyebutnya tidak realistis dan berpotensi membebani keuangan negara.
Ketua KMT Cheng Li-wun bahkan memperingatkan bahwa peningkatan anggaran tersebut dapat memicu perlombaan senjata tanpa ujung, yang justru menguras sumber daya Taiwan.
Ding menjelaskan bahwa Lai sadar anggarannya akan menghadapi pertentangan, sehingga ia memilih untuk terlebih dahulu mengirim sinyal kuat ke Washington. Dengan begitu, ketika DPR Taiwan nantinya memperdebatkan proposal tersebut, pemerintahan Lai bisa menegaskan bahwa penolakan ada di tangan oposisi, bukan mereka.
“Pada dasarnya, Lai sudah menyatakan posisinya kepada AS,” jelas Ding. “Soal bagaimana oposisi mungkin mencoba menghambat rencana itu di legislatif, partai berkuasa dapat mengatakan bahwa tanggung jawab bukan pada mereka.”






