Hakim Beberkan Pertimbangan Vonis untuk Eks Dirut ASDP Meski Tak Kantongi Dana Korupsi

Sahrul

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya menjelaskan dasar pertimbangan mengapa para terdakwa dalam perkara Kerja Sama Usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP periode 2019–2022 tetap dijatuhi hukuman, meski para pelaku tidak terbukti menikmati keuntungan secara pribadi. Putusan tersebut menjadi sorotan karena menyentuh aspek penyalahgunaan kewenangan yang dinilai memberi manfaat besar kepada pihak lain.

Dalam perkara ini, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, dijatuhi pidana 4 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp500 juta dengan ketentuan subsider tiga bulan kurungan. Dua petinggi ASDP lainnya turut dipidana, yakni Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020 hingga sekarang, Harry Muhammad Adhi Caksono. Keduanya menerima vonis 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan.

Majelis hakim menilai bahwa tindakan para terdakwa telah membuka celah keuntungan signifikan bagi PT JN dan pemiliknya, Adjie. Kendati tidak ada aliran dana yang dinikmati secara langsung oleh para terdakwa, hakim memandang bahwa pemberian manfaat besar kepada pihak lain tetap memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam perspektif korupsi.

Pertimbangan itu menjadi dasar hakim menyatakan bahwa perbuatan Ira serta dua rekannya mencukupi unsur pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal ini mengatur sanksi bagi penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana akibat jabatan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Bunyi ketentuan tersebut secara penuh adalah sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.”

Meski begitu, putusan majelis tidak diambil secara bulat. Persidangan justru mencatat adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda dari Ketua Majelis Hakim, Sunoto. Pendapat minoritas ini membuka sudut pandang lain mengenai konstruksi perbuatan yang didakwakan.

Sunoto menilai bahwa perkara KSU dan akuisisi PT JN oleh PT ASDP tidak seharusnya masuk ke ranah pidana. Ia berkeyakinan bahwa aspek yang disengketakan merupakan ranah keputusan bisnis, bukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut ia dasarkan pada rangkaian fakta persidangan yang menurutnya tidak membuktikan adanya unsur kerugian negara yang disebabkan oleh para terdakwa.

Dalam pandangannya, dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan. Ia menyatakan secara tegas: “Para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” ujar Sunoto saat membacakan pendapatnya dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/11).

Sunoto lebih jauh menjelaskan bahwa langkah-langkah yang diambil Ira beserta jajarannya merupakan bagian dari kebijakan bisnis yang sah dan dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rule (BJR). Prinsip ini memberikan perlindungan bagi pengambil keputusan dalam perusahaan sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan kehati-hatian. Oleh sebab itu, menurutnya, tidak ada mens rea atau niat jahat untuk merugikan negara.

Ia menegaskan pandangannya lewat pernyataan: “Direktur akan menjadi sangat takut untuk mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko meskipun keputusan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan, profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat diskriminalisasi,” tutur Sunoto.

Pendapat berbeda ini memperlihatkan adanya tarik ulur antara perspektif pidana dengan pertimbangan bisnis dalam dunia korporasi BUMN. Meski dua anggota majelis hakim lain memutuskan bahwa unsur tipikor terpenuhi, sudut pandang Sunoto memberi catatan penting mengenai potensi kriminalisasi terhadap pengambilan keputusan strategis yang berada dalam wilayah kebijakan korporasi.

Perbedaan pandangan di antara hakim ini menunjukkan bahwa perkara korupsi tidak selalu berhenti pada bukti aliran dana, melainkan juga mencakup konteks kewenangan, tanggung jawab jabatan, dan dampak terhadap keuangan negara. Pada saat yang sama, dissenting opinion Sunoto memperkaya wacana mengenai batas antara kesalahan administratif, keputusan bisnis, dan tindakan kriminal.

Also Read

Tags