Ketidakstabilan geopolitik yang terus membara di berbagai penjuru dunia tampaknya menjadi bahan bakar bagi lonjakan harga emas. Seiring memuncaknya konflik, terutama di kawasan rawan seperti Timur Tengah, harga logam mulia tersebut diproyeksikan merangkak naik dan bahkan bisa menembus angka psikologis Rp 2 juta per gram dalam waktu dekat.
Beberapa analis menyebutkan bahwa eskalasi yang terus meningkat antara dua kekuatan besar, yakni Iran dan Israel, telah memberi dorongan signifikan terhadap kenaikan harga emas global. Kenaikan ini bahkan diibaratkan seperti bara yang terus disiram bensin—semakin disulut, makin membara.
Menurut Lukman Leong, analis mata uang dan komoditas dari Doo Financial Futures, logam mulia ini masih menyimpan potensi kenaikan yang cukup besar. Ia memperkirakan bahwa jika konflik tak kunjung mereda, harga emas internasional dapat menembus angka US$ 3.800 per troy ons, yang setara dengan Rp 61,5 juta atau sekitar Rp 2,1 juta per gram jika dikonversi dengan nilai tukar saat ini.
“Eskalasi Iran Israel akan mempercepat kenaikan harga emas. Upside harga emas internasional masih cukup besar, untuk tahun ini diperkirakan paling tidak masih akan naik 10% mencapai US$ 3.800 (per troy ons), artinya harga di Indonesia dengan asumsi kurs sekarang, akan berkisar Rp 2 jutaan per gram,” beber Lukman.
Saat ini, berdasarkan data dari situs resmi Antam Logam Mulia, harga emas sudah mendekati level tertinggi, yakni menyentuh Rp 1.964.900 per gram pada Minggu pagi kemarin.
Sementara itu, Ibrahim Assuaibi, pengamat pasar mata uang dan komoditas lainnya, turut menyuarakan pandangan serupa. Ia menyebut konflik antara Iran dan Israel sebagai salah satu pemicu utama menguatnya posisi emas sebagai aset pelindung nilai (safe haven).
“Salah satu penyebabnya adalah geopolitik di Timur Tengah yang terus memanas di mana Israel melakukan penyerangan pada saat pagi terhadap wilayah-wilayah Iran. Salah satunya adalah Teheran. Nah, ini pun juga dibalas lagi siangnya Iran melakukan penyerangan terhadap wilayah-wilayah Israel. Nah, ini yang membuat satu kegemparan dunia,” papar Ibrahim dalam keterangannya.
Tak hanya kawasan Timur Tengah yang memanas. Benua Eropa juga kembali diwarnai ketegangan. Perseteruan antara Rusia dan Ukraina kembali mencuat, menciptakan aura ketidakpastian yang menggema hingga ke pasar global. Belum lagi bayang-bayang perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang masih belum sepenuhnya menghilang dari radar pelaku pasar.
“Ketegangan geopolitik baik di Timur Tengah, di Eropa, maupun di Amerika ini mendukung penguatan terhadap harga emas dunia,” sebut Ibrahim.
Langkah Cermat Berinvestasi Emas
Melihat tren harga yang terus menanjak, masyarakat kini menghadapi dilema: apakah saat ini waktu yang tepat untuk membeli emas, atau sebaliknya, menunggu koreksi harga?
Ariston Tjendra, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, memberikan panduan. Ia mengibaratkan strategi investasi emas layaknya berburu di hutan: idealnya dilakukan saat “buruan” sedang lengah atau murah. Namun dalam kondisi geopolitik yang penuh guncangan seperti sekarang, harga emas cenderung sulit untuk turun drastis.
“Sekarang kan harga lagi naik nih, strategi yang lebih baik sih membeli saat harga terkoreksi. Tapi dengan konflik terus ada dan tren harga terus naik, peluang koreksi saat ini kecil,” beber Ariston.
Ariston menyarankan pendekatan sistematis bagi calon investor. Alih-alih menunggu momen ideal yang tak pasti, ia menyarankan untuk membeli emas secara bertahap, layaknya orang menabung atau mengikuti metode dollar cost averaging.
“Cara menyiasati dengan membeli sedikit demi sedikit secara berkala. Bisa sebulan sekali dan seterusnya. Mirip konsep menabung atau dollar averaging,” jelas Ariston.
Bagi mereka yang sudah lebih dulu mengoleksi emas, Ariston menyarankan untuk menyimpan asetnya terlebih dahulu, mengingat tren harga yang masih menunjukkan kecenderungan naik.
“Kalau yang sudah punya emas bisa ditahan dulu karena tren masih naik,” sebut Ariston.
Apabila krisis geopolitik tak kunjung reda, emas diprediksi akan terus bersinar di tengah kabut ketidakpastian global. Layaknya mercusuar di tengah badai, logam mulia ini tetap menjadi tempat perlindungan bagi para investor yang mencari ketenangan dalam gejolak pasar.