Gelombang aspirasi publik kembali menggema di Senayan. Kamis (4/9/2025), sekelompok masyarakat lintas profesi yang menamakan diri Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah mendatangi Gerbang Pancasila Kompleks DPR RI, Jakarta Pusat. Kehadiran mereka bukan sekadar simbol, melainkan langkah nyata untuk menyerahkan dokumen resmi berisi 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang—paket lengkap aspirasi yang lahir dari gejolak masyarakat dalam beberapa pekan terakhir.
Kolektif ini bukan kumpulan biasa. Mereka terdiri dari aktivis sipil, musisi, komunitas, hingga influencer yang kerap menjadi corong aspirasi anak muda. Sejak aksi protes besar-besaran pada Senin (25/8/2025), mereka meramu suara rakyat menjadi daftar tuntutan yang kini disebut “17+8 Tuntutan Rakyat”.
Akar Kekecewaan
Andhyta F Utami atau yang akrab disapa Afu, tampil sebagai salah satu juru bicara kolektif. Menurutnya, gelombang protes ini lahir dari luka yang mendalam pasca banyaknya korban jiwa dalam demonstrasi menolak tunjangan DPR RI yang dianggap tak masuk akal.
“Ini semua disebabkan oleh proses demokrasi yang cacat dan tidak sehat. Kalau dari awal terjadi proses partisipasi yang baik dan pemerintah mau mendengarkan warganya, ini tidak seharusnya terjadi,” kata Afu di depan Gerbang Pancasila.
Ia menambahkan, absennya tanggapan positif dari pemerintah serta tindakan represif aparat justru memperkeruh keadaan. Karena itu, menurut Afu, tuntutan yang mereka susun adalah sebuah alat ukur—semacam barometer—untuk menilai sejauh mana pemerintah bersedia mendengar dan bertindak.
“Kami melihat perlunya sebuah daftar tuntutan bersama yang bisa mengukur respons pemerintah secara tepat, dengan alur akuntabilitas yang jelas dan sebisa mungkin merefleksikan keresahan masyarakat seluas-luasnya,” ujar Afu.
Para Tokoh Publik Turut Hadir
Aksi di Senayan ini juga menghadirkan sejumlah nama populer yang biasanya dikenal lewat layar kaca maupun media sosial. Di antaranya ada Jerhemy Owen, Jerome Polin, Abigail Limuria, Andovi da Lopez, Fathia Izzati, Jovial da Lopez, Ferry Irwandi, serta Afu sendiri.
Kehadiran mereka seolah menjadi jembatan antara dunia digital dengan ruang politik formal. Jika sebelumnya keresahan rakyat ramai bergema di media sosial, kini suara itu resmi masuk ke halaman parlemen.
Rombongan ini diterima langsung oleh anggota DPR Rieke Diah Pitaloka dan anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI Andrea Rosiade. Andre menyatakan, pihaknya akan menyalurkan tuntutan tersebut ke berbagai pemangku kepentingan.
“Yang jelas kami sudah berkoordinasi baik internal maupun berbagai instansi agar berbagai tuntutan itu bisa dipenuhi,” ujarnya.
Isi 17 Tuntutan Jangka Pendek
Seperti diketahui, tuntutan rakyat kali ini memiliki dua lapis agenda: jangka pendek dengan tenggat 5 September 2025, serta jangka panjang hingga 2026.
Untuk 17 poin pertama, fokus utamanya diarahkan kepada enam pilar kekuasaan: Presiden, DPR, partai politik, Polri, TNI, dan kementerian sektor ekonomi. Misalnya, Presiden Prabowo diminta menarik kembali keterlibatan TNI dari pengamanan sipil serta membentuk tim investigasi independen terkait korban jiwa demonstrasi.
Di sisi legislatif, DPR didesak membekukan kenaikan gaji dan tunjangan, sekaligus membuka transparansi anggaran secara penuh. Partai politik pun tak luput dari sorotan: publik meminta agar mereka menjatuhkan sanksi tegas bagi kader yang dianggap menodai etika.
Tuntutan juga diarahkan kepada aparat penegak hukum. Polri diminta membebaskan seluruh demonstran yang ditahan serta menghentikan praktik kekerasan berlebihan. TNI ditekan untuk kembali ke barak dan menghentikan peran dalam pengamanan sipil. Sementara kementerian ekonomi diminta memastikan kesejahteraan pekerja, mulai dari buruh, guru, tenaga kesehatan, hingga mitra transportasi daring.
Agenda Reformasi 2026
Selain daftar mendesak itu, terdapat 8 tuntutan jangka panjang yang ditargetkan rampung pada Agustus 2026. Isinya lebih menyeluruh, menyasar akar persoalan demokrasi dan tata kelola negara.
Beberapa di antaranya: reformasi besar-besaran di DPR, termasuk audit independen dan larangan eks-koruptor duduk sebagai anggota; pembenahan partai politik agar lebih transparan; serta pembaruan sistem perpajakan yang lebih adil.
Tak hanya itu, rakyat juga menuntut penguatan lembaga pengawas independen seperti Komnas HAM, revisi aturan kepolisian agar lebih humanis, hingga evaluasi proyek strategis nasional yang dinilai kerap mengabaikan masyarakat adat.
Sebuah Pertaruhan Demokrasi
Aksi ini menggambarkan bagaimana generasi muda dan masyarakat sipil berusaha mengembalikan marwah demokrasi. Suara yang sebelumnya berserakan di jagat maya kini dikemas rapi menjadi dokumen politik yang tidak bisa diabaikan.
Dengan tenggat waktu yang kian dekat, 17+8 Tuntutan Rakyat ibarat sebuah jam pasir yang terus berjalan. Bila pemerintah mampu merespons, kepercayaan publik bisa kembali terbangun. Namun jika diabaikan, potensi gelombang aksi lanjutan bukan tidak mungkin kembali membuncah.