Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel kembali memanas, kali ini ditambah bumbu sindiran pedas dari diplomasi Teheran. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyindir keras ketergantungan Israel terhadap Amerika Serikat selama konflik bersenjata yang berlangsung hampir dua pekan. Melalui platform media sosial X, ia menggambarkan posisi Israel seperti anak kecil yang tak mampu berdiri sendiri tanpa campur tangan sang “ayah”.
Dalam pernyataannya yang dikutip Fox News, Araghchi menyamakan serangan militer AS terhadap fasilitas Iran sebagai reaksi refleks dari seorang ayah yang tak tega melihat anaknya terluka.
“Rakyat Iran yang Agung dan Perkasa telah menunjukkan kepada dunia bahwa rezim Israel TIDAK PUNYA PILIHAN selain LARI ke ‘Papa’ demi menghindari dihancurkan oleh rudal kami,” tulis Araghchi di X.
Pernyataan itu merujuk pada tindakan militer Amerika Serikat yang menyerang lokasi-lokasi strategis milik Iran pada akhir pekan lalu, tepat di tengah intensitas tinggi pertempuran antara Iran dan Israel. Langkah AS ini dianggap oleh Teheran sebagai bentuk perlindungan langsung terhadap sekutu dekatnya yang kewalahan di medan tempur.
Sindiran Tajam Iran: Israel Tak Mampu Berdiri Sendiri
Sindiran Araghchi tak hanya menyoroti aliansi militer AS-Israel, tetapi juga menggambarkan betapa menurutnya Israel sangat bergantung pada intervensi eksternal. Dalam pandangannya, kekuatan militer Negeri Zionis tidak mampu menahan gempuran Iran tanpa campur tangan dari luar, khususnya dari Negeri Paman Sam.
Melalui retorika yang menggigit, Araghchi mempertegas bahwa Israel adalah “anak yang lari ke pangkuan orang tua” saat dihujani serangan, dan tidak bisa melindungi dirinya sendiri.
Peringatan Keras untuk Trump
Dalam kesempatan yang sama, Araghchi juga melemparkan kecaman keras terhadap Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump. Ia menilai Trump telah bersikap lancang dan menghina pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
“Trump harus menyingkirkan nada tidak sopan dan tak dapat diterima terhadap Khamenei dan berhenti menyakiti jutaan pengikut setia beliau,” tulis Araghchi.
Araghchi menekankan bahwa jika Washington memang sungguh ingin membangun jembatan diplomasi baru dengan Teheran, maka pendekatan harus dimulai dari sikap saling menghargai, bukan hinaan dan intimidasi. Ia juga memberi peringatan bahwa jika penghinaan terus berlanjut, maka Iran tak segan untuk menunjukkan taringnya.
“Jika delusi memicu kesalahan yang lebih besar, Iran tidak akan ragu untuk menunjukkan kemampuan nyata-nya, yang pasti akan MENGAKHIRI semua ilusi tentang kekuatan Iran. Niat baik dibalas dengan niat baik, dan rasa hormat dibalas dengan rasa hormat,” paparnya.
Konflik Mereda, Tapi Bara Masih Menyala
Pernyataan Araghchi datang hanya beberapa hari setelah konflik selama 12 hari antara Iran dan Israel berakhir lewat gencatan senjata pada 24 Juni, dengan mediasi dari Amerika Serikat. Meski senjata telah didiamkan, tensi diplomatik dan psikologis masih membara di permukaan.
Sebelumnya, Iran mengklaim telah memenangkan konfrontasi dengan Israel, bahkan menyebut diri mereka memberi “tamparan keras” kepada AS dalam prosesnya. Klaim tersebut disampaikan langsung oleh Ayatollah Khamenei dan disambut dengan penolakan keras dari pihak Gedung Putih.
Trump, melalui platform Truth Social, menyatakan bahwa klaim Khamenei adalah “omong kosong” belaka. Ia bahkan menyebut pemimpin spiritual Iran itu sebagai “pembohong konyol”. Dalam pernyataannya, Trump mengklaim dirinya telah menolak permintaan dari militer AS dan Israel untuk menghabisi Khamenei meskipun lokasi persembunyiannya sudah diketahui.
Langkah Trump ini kemudian dijadikan alasan untuk membekukan setiap kemungkinan pencabutan sanksi terhadap Teheran, sekaligus mempertegas posisinya bahwa Iran masih merupakan ancaman yang harus diwaspadai secara global.