Upaya mencari titik terang dalam perkara hukum yang menjerat dua pendidik di Luwu Utara kembali mendapat angin segar. Presiden Prabowo Subianto memberi mandat langsung kepada Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan untuk menelusuri kembali rangkaian proses hukum yang sebelumnya menyeret Rasnal dan Abdul Muis. Keduanya adalah guru yang pernah menjadi sorotan publik setelah dipidana akibat pengumpulan dana komite sekolah sebesar Rp20.000 per wali murid—uang yang sebenarnya ditujukan untuk menolong guru honorer yang telah sekian bulan tak menerima gaji.
Sebelumnya, kedua tenaga pendidik ini sempat diberhentikan dari status aparatur sipil negara (ASN). Namun, setelah kasusnya mengemuka dan dinilai mengandung kejanggalan, Presiden Prabowo akhirnya memulihkan kedudukan mereka. Langkah ini membuka kembali harapan bahwa proses hukum yang ditempuh nantinya akan lebih transparan dan memegang teguh prinsip keadilan.
Kapolda Sulsel Irjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro menuturkan bahwa atensi Presiden terhadap kasus tersebut sangat besar. Ia menegaskan bahwa perintah dari Kepala Negara menjadi pijakan penting agar proses hukum tak berjalan timpang.
“Bapak Presiden memerintahkan kami dari aparat penegak hukum, jangan sampai tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini akan kami laksanakan sesuai asas yang bisa diterima masyarakat,” kata Djuhandhani, Kamis (13/11/2025).
Sebagai tindak lanjut dari instruksi tersebut, Polda Sulsel langsung mengerahkan tim investigasi dari Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) serta tim pengawas penyidik (Wasidik). Unit-unit ini bertugas menguliti kembali setiap detail penanganan perkara, layaknya membedah ulang jalur proses hukum yang mungkin sebelumnya tak mendapat sorotan.
“Saya mengambil langkah, kami turunkan tim baik itu dari Bid Propam Polri dan Bid Propam Polda Sulsel. Kemudian Wasidik Direktorat Kriminal Khusus untuk melihat lebih jauh tentang perkara ini,” ujar Djuhandhani.
Tak berhenti di situ, koordinasi lintas lembaga juga dilakukan. Proses penelaahan kembali melibatkan Divisi Propam Polri dan Bareskrim Polri agar evaluasi menyeluruh dapat dilakukan, terutama untuk menelaah potensi penyimpangan etik atau prosedural.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Divisi Propam Polri dan Bareskrim Polri, dalam hal ini Biro Wasidik, untuk mendapatkan asistensi sejauh mana penanganan dulu dilaksanakan, apakah ada hal-hal yang melanggar norma ataupun etika oleh penyidik,” jelasnya.
Berawal dari Laporan LSM, Berujung Jerat Hukum
Kasus ini bermula dari aduan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menuding adanya tindakan korupsi terkait pungutan Rp20.000 dari orangtua murid. Padahal, sumbangan tersebut pada dasarnya merupakan bentuk solidaritas untuk menutup kekosongan upah guru honorer yang sudah hampir satu tahun tak digaji. Apa yang dimaksud sebagai gotong royong kemudian berubah menjadi belitan hukum.
Rasnal sendiri sempat menyampaikan hal-hal yang dianggap janggal dalam penanganan kasus ini. Dalam rapat dengar pendapat bersama DPRD Sulsel, ia menguraikan bahwa sejak pada tahap awal penyelidikan, terdapat beberapa ketidaksesuaian yang sulit diterima akal.
“Penyelidikan awal itu ditentukan empat orang terlapor termasuk saya, kepala sekolah, ketua komite, sekretaris komite, dan bendahara. Tapi saat penyidikan, hanya kepala sekolah dan bendahara komite yang jadi tersangka,” kata Rasnal.
Ia menilai bahwa keputusan menetapkan sebagian pihak sebagai tersangka sementara pengelola dana justru tidak dijerat membuat proses hukum terasa pincang, seperti kursi yang kehilangan satu kakinya.
“Yang sekretaris dan ketua komite tidak tahu kenapa tidak ditetapkan tersangka, padahal dia yang kelola uang. Itu anehnya polisi,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyinggung pola pemeriksaan yang dinilai tidak proporsional. Menurutnya, proses pemeriksaan lanjutan melibatkan Inspektorat Luwu Utara, padahal dirinya merupakan pegawai provinsi yang seharusnya diperiksa oleh inspektorat provinsi.
“Pertanyaannya persis sama dengan BAP polisi. Saat saya tanya, mereka jawab memang menyalin pertanyaan polisi. Di situ saya sudah tidak nyaman,” ungkapnya.
Dengan adanya instruksi baru dari Presiden dan penyelidikan ulang yang kini dilakukan secara lebih mendalam, publik menaruh harapan bahwa benang kusut perkara ini akhirnya dapat diluruskan. Kasus dua guru ini menjadi simbol bahwa keadilan semestinya tidak memilih siapa yang kuat atau siapa yang lemah, tetapi berdiri tegak seperti tiang yang menopang rumah hukum negara.






