Isu perundungan dalam dunia pendidikan dokter spesialis (PPDS) kembali mencuat ke permukaan, dengan terungkapnya dua kasus terbaru dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Dugaan perundungan ini menyentuh sisi kelam sistem pendidikan kedokteran yang, menurut banyak pihak, mengandung praktik tidak etis yang membebani para peserta didik.
Anggota Komisi IX DPR, Surya Utama, atau lebih dikenal dengan Uya Kuya, mengungkapkan dua kasus mengkhawatirkan terkait perundungan terhadap calon dokter spesialis. Kasus pertama melibatkan seorang mantan dokter PPDS bernama Wildan Ahmad Furqon, yang pernah menempuh pendidikan spesialis ortopedi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
“Kasus pertama ada Wildan Ahmad Furqon, mantan dokter PPDS di Bandung RSHS yang keluar, sampai keluar dari dr spesialis ortopedi karena mengalami perundungan fisik,” ujar Uya Kuya dalam rapat tersebut, sebagaimana disampaikan dalam rekaman di YouTube Komisi IX DPR, Kamis (1/5/2025).
Menurut Uya, Wildan tidak hanya diperlakukan dengan cara-cara fisik yang tidak manusiawi seperti disuruh berdiri dengan satu kaki berjam-jam, push-up, dan merangkak, namun juga diwajibkan membayar biaya yang sangat tinggi, termasuk servis mobil hingga biaya clubbing untuk seniornya. Biaya yang dikeluarkan Wildan dalam waktu tiga semester tercatat mencapai Rp 500 juta, sebuah angka yang mencerminkan beban berat yang tidak sebanding dengan tujuan pendidikan yang seharusnya memprioritaskan pengembangan keterampilan medis.
“Biaya entertain yang dikeluarkan dari seorang Wildan sampai Rp 500 juta untuk 3 semester. Dan semester 1 dia harus menyediakan seperti tas Doraemon yang isinya bisa sampai 20 biji untuk kebutuhan senior,” jelas Uya. Lebih tragis lagi, Wildan harus menanggung siksaan fisik dan psikis, bahkan dihukum menginap di rumah sakit dan dipukul setelah mencoba pulang untuk menemani istrinya melahirkan.
Kasus Kedua: Kekerasan Berlanjut di UGM
Kasus kedua yang terungkap berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang melibatkan dr Marcel, seorang mantan peserta didik PPDS Ortopedi. Uya Kuya menceritakan bahwa dr Marcel juga mengalami perundungan serupa, termasuk dipaksa mengikuti parade fisik yang melibatkan kekerasan fisik dan penghinaan. Selain itu, dr Marcel pun harus menanggung biaya-biaya yang sangat tinggi, termasuk menyiapkan mobil untuk dokter-dokter spesialis serta segala kebutuhan makan mereka.
“Dan pernah juga dia yang memukuli adalah yang sekarang mantu dari rektor, dan ini dokter Marcel sudah pernah speak-up di tempat saya juga, dan dia juga bilang suka disuruh menyiapkan mobil setara Innova cuma untuk jemput dr spesialisnya,” ungkap Uya, menambahkan bahwa kekerasan tersebut berujung pada keluarnya dr Marcel dari pendidikan PPDS karena tekanan mental yang luar biasa.
Kemenkes Akui Pembiaran dan Berjanji Memperbaiki Sistem
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, merespon kasus perundungan tersebut dengan mengakui adanya pembiaran yang menyebabkan masalah ini terus berlarut. Budi mengungkapkan bahwa isu etika, budaya, dan kualitas pendidikan kedokteran, terutama dalam pendidikan spesialis, menjadi persoalan besar yang harus segera ditangani.
“Dari sisi PPDS ini masalahnya kita adalah spesialis jumlahnya kurang, abis itu distribusinya tidak merata, sekarang keluar masalah yang ketiga dari sisi mutunya, mutunya ada 3, mutu keterampilan, dan mutu dari etikanya, budayanya, itu isu,” kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR.
Menurut Budi, meskipun sulit untuk mengakui adanya kekurangan dalam etika dan budaya pendidikan medis, langkah-langkah perbaikan harus segera dilakukan untuk menghindari praktik-praktik tak bermoral yang merugikan calon dokter dan merusak reputasi sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.
“Percayalah Pak Menteri (Mendiktisaintek) itu sama dengan saya, mau diperbaiki ini, beliau juga tahu ini ada masalah yang sudah terlalu lama dibiarkan,” lanjut Budi, menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi pembiaran lebih lanjut.
Tindak Tegas Pelaku Perundungan
Budi juga memastikan bahwa Kemenkes akan bertanggung jawab penuh atas kasus perundungan yang terjadi dalam PPDS. Menurutnya, pihak-pihak yang terbukti bersalah akan dikenakan sanksi tegas, termasuk pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) yang menghalangi pelaku untuk berpraktik sebagai dokter seumur hidup.
“Setidaknya di sisi kita, tanggung jawab kita, dari sisi kita, kita pegang apa? Kita pegang STR, izin, itu semua kita freeze,” tegasnya, sambil menambahkan bahwa proses hukum akan terus berjalan dan tidak ada yang akan menghalangi upaya penegakan hukum.
Budi berkomitmen untuk menata ulang sistem pendidikan PPDS, mengingat pentingnya peran dokter spesialis dalam sistem kesehatan Indonesia. Pembenahan ini tidak hanya mencakup aspek administratif, tetapi juga penataan budaya dan etika dalam lingkungan pendidikan medis.
“Administratif kita sudah cabut, kita freeze, begitu dia salah, nomor dua kita masukin ke yudikatif, benar-benar jalan,” ungkap Budi, menegaskan bahwa pembenahan mendalam akan segera dilakukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Dengan komitmen ini, diharapkan dunia pendidikan kedokteran di Indonesia dapat bersih dari praktik perundungan dan menghasilkan dokter-dokter spesialis yang berkualitas dan bermoral, tanpa ada lagi korban yang harus menanggung beban berat dari sistem yang tidak adil.