Jokowi Curiga Ada Agenda Politik Tersembunyi, Aria Bima Kritisi Narasi yang Mengambang

Sahrul

Pernyataan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), yang mengisyaratkan adanya gerakan politik berskala besar di balik perdebatan soal ijazah dan isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kini menuai sorotan dari internal PDIP. Salah satunya datang dari politisi senior partai berlambang banteng, Aria Bima, yang mengingatkan agar Jokowi tidak menyampaikan narasi yang menurutnya cenderung kabur dan tidak membangun kejelasan di tengah masyarakat.

Dalam suasana politik yang makin hangat menjelang kontestasi demokrasi, Aria Bima menyampaikan kritiknya dengan nada yang menekankan tanggung jawab kenegarawanan. Ia menyebut bahwa sebagai mantan presiden dua periode, Jokowi seharusnya memberi arah berpikir yang lebih luas dan membawa optimisme, bukan malah membuka ruang tafsir liar di tengah publik.

“Pak Jokowi ini presiden dua kali. Sebaiknya Pak Jokowi berbicara hal-hal yang besar, pikiran-pikiran yang besar, pikiran-pikiran yang strategis. Beliau harus memberikan pencerahan terhadap bangsa ini, negara ini, untuk lebih ke depan ya,” kata Aria Bima di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Menurutnya, narasi yang tidak terstruktur atau tidak memiliki arah jelas justru berpotensi menciptakan suasana tidak pasti di tengah masyarakat. Dalam analogi politik, hal itu seperti kabut tebal yang menghalangi pandangan publik terhadap realitas yang sebenarnya.

“Narasi-narasi yang membuat suatu yang tidak jelas dan berdampak pada kebingungan publik, seperti ada skenario-skenario itu, saya kira Pak Jokowi tahu dari dulu ya di politik kayak gitu,” sambungnya.

Politik: Panggung Penuh Skenario

Aria Bima menyadari bahwa dunia politik tak ubahnya seperti panggung besar dengan banyak lakon yang saling berganti. Setiap partai tentu memiliki agenda dan strategi, tetapi yang menjadi sorotannya adalah bagaimana setiap kehendak politik itu dikemas secara transparan kepada masyarakat. Ia mendorong Jokowi untuk memberikan sumbangan narasi yang lebih membangun dan membawa energi kolektif bangsa ke arah yang lebih positif.

“Saya tidak menyalahkan Pak Jokowi menyampaikan hal itu ke publik, tapi sebaiknya Pak Jokowi lebih menarasikan, memberikan semangat di dalam kita berbangsa dan bernegara ini. Jangan publik dibawa ke hal yang terlalu kecil,” ungkapnya.

“Menurut saya, soal ijazah ini juga terlalu berlebihan juga, sehingga masalah-masalah penting bangsa ini tidak menjadi wacana,” lanjutnya.

Politikus yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini juga menegaskan bahwa dunia politik tidak pernah sepenuhnya terlihat jelas oleh mata awam. Banyak hal yang berjalan di balik layar, dan Jokowi sebagai sosok yang telah lama berkecimpung dalam dunia kekuasaan, semestinya memahami dinamika itu.

Seruan Menjadi Negarawan Sejati

Lebih jauh, Aria Bima menekankan pentingnya Jokowi untuk bersikap sebagai negarawan. Bukan hanya sebagai pribadi politikus, melainkan sebagai figur yang pernah duduk di puncak kekuasaan eksekutif, baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai simbol negara.

“Ya karena beliau itu tidak bisa disorot sebagai Pak Jokowi, dia adalah presiden ke-7. Yang mana dia juga pernah menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara. Dan saat ini rakyat butuh tidak hanya seorang presiden, tapi seorang pemimpin,” jelasnya.

“Rakyat jangan diajak ikut mikir pemimpinnya, rakyat jangan diajak mikir partai politiknya. Tapi rakyat perlu ada suatu pencerahan ke depan,” imbuh dia.

Pernyataan ini menunjukkan harapan agar Jokowi dapat lebih fokus menjadi penyambung semangat kemajuan bangsa daripada terjebak dalam pernyataan yang justru memperkeruh ruang publik.

Jokowi dan Kecurigaan Terhadap Agenda Politik

Sebelumnya, Jokowi menyampaikan bahwa dirinya merasa ada gerakan politik berskala besar yang berada di balik isu-isu yang menimpa keluarganya, terutama menyangkut Gibran. Ia mengaitkannya dengan polemik mengenai keabsahan ijazah serta wacana pemakzulan sang putra yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden RI.

“Saya berperasaan, memang kelihatannya ada agenda besar politik. Di balik isu-isu ini ijazah palsu, isu pemakzulan,” kata Jokowi saat ditemui wartawan di kediaman pribadinya di Sumber, Banjarsari, Solo.

Menurut Jokowi, isu-isu itu tampaknya dirancang untuk menyerang reputasi dan pengaruh politik dirinya.

“Ini perasaan politik saya mengatakan ada agenda besar politik untuk menurunkan reputasi politik, untuk men-downgrade,” ujar dia.

Meski disampaikan sebagai “perasaan politik”, pernyataan Jokowi tersebut jelas menggugah respons beragam, termasuk dari kalangan internal partai pendukungnya sendiri.

Jika diibaratkan politik adalah samudera luas, maka setiap gelombang narasi dan skenario harus diarungi dengan kewaspadaan dan kompas moral. Kritik Aria Bima menyoroti pentingnya seorang pemimpin tak hanya melihat arah angin, tapi juga menunjukkan pelabuhan yang ingin dituju.

Also Read

Tags

Leave a Comment